Makalah Lengkap dan Pengetahuan Umum
Indeks
umum  

Peran  Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia

Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955

Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan.

Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama dibelahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.

Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.

Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka.

Hal ini mengakibatkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.

Timbulnya pergolakan di dunia disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk.

Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika.

Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.

Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia.

Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok dunia tersebut.

Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah-masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.

Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh bangsa- bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya.

Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.

Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:

” Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.

Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia .

Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954.

Akhirnya, dalam pernyataan  bersama  pada  akhir  Konferensi  Kolombo,  dinyatakan  bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.

Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk  diadakannya  Konferensi  Asia  Afrika.  Dalam  rangka  menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika.

Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan konferensi tersebut. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi.

Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/ Myanmar, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan  Konferensi  di  Bogor  pada  tanggal  28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.

Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.

Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.

Mengingat  negara-negara  yang  akan  diundang  mempunyai  politik  luar negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain.

Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi.

Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa persiapan- persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.

Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya.

Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.

Pada  tanggal  18  April  1955  Konferensi  Asia  Afrika  dilangsungkan  di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidang- sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo.

Konferensi Asia Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung.

Dasasila Bandung

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusian yang termuat dalam piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
  4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
  5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
  6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
  9. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya.

Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu tidak jadi.

Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional.

Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.

Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia  Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika

. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow.

Dengan diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat Bandung” atau “Bandung Spirit”. Untuk mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol di kota Bandung yang terbentang di depan gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia Afrika.

Gerakan Non-Blok/Non Align Movement (NAM)

Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur.

Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara–negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet.

Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan Timur, era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold War) yang berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989.

Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan upaya untuk memperluas sphere of interest dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.

Dalam  pertarungan  perebutan  pengaruh  ini,  negara-negara  dunia  ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara yang baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk menyebarkan pengaruhnya.

Akibat persaingan kedua blok tersebut, muncul beberapa konflik terutama di Asia, seperti Perang Korea, dan Perang Vietnam. Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat  dari para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok tersebut.

Indonesia bisa dikatakan memiliki peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini.   Lahirnya organisasi Gerakan Non Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur.

Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilangka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di Kolombo (Srilangka) pada 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana Bogor pada 29 Desember 1954.

Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika /KAA di Bandung pada 18 April-25 April 1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.

KAA  di  Bandung  merupakan  proses  awal  lahirnya  GNB.  Tujuan  KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional.

Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan puncaknya krisis teluk Babi di Kuba, yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para pemimpin negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu.

Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 1-6 September  1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan  Afrika. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama diantara mereka.

Pada KTT I ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB.

Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju.

Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan  keamanan dunia.  Untuk  mewujudkan tujuan  tersebut, negera-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT).

Pokok pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa- peristiwa internasional yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Dalam perjalanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran pada Agustus 2012.

Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada  September 1992 – 7 September 1992, dipimpin oleh Soeharto.

KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi manusia, demokrasi dan kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin. KTT ini dihadiri oleh lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini juga dihadiri oleh Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali.

Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda

Dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014  Indonesia telah mengirimkan kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).

Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman Misi Garuda dilatarbelakangi adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956.

Sebagai akibatnya, pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar kawasan tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober 1956, Inggris, Perancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir. Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB turun tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.

Dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar Kanada Lester B.Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada tanggal 5 November 1956 Sekjen PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama United Nations Emergency Forces (UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia menyatakan kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam UNEF.

Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan yang berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk UNEF yang diberinama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada bulan Januari 1957.

Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for the Congo (UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait munculnya konflik di Kongo (Zaire sekarang).  Konflik  ini  muncul  berhubungan  dengan  kemerdekaan  Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu pecahnya perang saudara.

Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC. Pasukan kali ini di sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut.

Pasukan Garuda II  berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya pada bulan Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan Agustus 1964.

Peran aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia terus berlanjut, ketika meletus perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh PBB untuk mengirim pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB.

Untuk menjaga stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat perang saudara tersebut, PBB membentuk International Commission of Control and Supervission (ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hongaria, Indonesia, Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang dilakukan kedua belah pihak yang bertikai.

Pasukan perdamaian Indonesia yang dikirim ke Vietnam disebut sebagai Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290 pasukan, bertugas di Vietnam dari bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti dengan Pasukan Garuda V, dan kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975 Pasukan Garuda VII ditarik dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ketangan Vietcong (Vietnam Utara yang komunis).

Pada tahun 1973, ketika pecah perang Arab-Israel ke 4, UNEF diaktifkan lagi dengan kurang lebih 7000 anggota yang terdiri atas kesatuan-kesatuanAustralia, Finlandia, Swedia, Irlandia, Peru, Panam, Senegal, Ghana dan Indonesia.

Kontingen Indonesia semula berfungsi sebagai pasukan pengamanan dalam perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas pasukan Garuda VI berakhir 23September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan Garuda VIII yang bertugas hingga tanggal 17 Februari 1975.

Sejak tahun 1975 hingga kini dapat dicatat peran Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia semakin berperan aktif, ditandai dengan didirikannya Indonesian Peace Security Centre (IPSC/Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang didalamnya terdapat  unit yang mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim untuk menjaga perdamaian dunia (Standby Force).

Pembentukan ASEAN

Menjelang berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, beberapa pemimpin bangsa-bangsa  Asia  Tenggara  semakin  merasakan  perlunya  membentuk suatu  kerjasama  regional    untuk  memperkuat kedudukan dan  kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Pada tanggal 5-8 Agustus di Bangkok  dilangsungkan  pertemuan  antarmenteri  luar  negeri  dari  lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand).

Pada 8 Agustus  1967 para menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration. Deklarasi tersebut merupakan persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN).

Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah:

  1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.
  2. Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.
  3. Memajukan kerjasama aktif dan saling membantu di negara- negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
  1. Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.
  2. Kerjasama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.
  3. Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.
  4. Memelihara dan meningkatkan kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang ada.

Dari tujuh pasal Deklarasi Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan organisasi kerjasama negara-negara Asia Tenggara yang bersifat non politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN bukan merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas aktif, karena ASEAN bukanlah  suatu  pakta  militer  seperti  SEATO  misalnya.

ASEAN  sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang mengutamakan pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya ASEAN adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas sosial budaya, dan kesatuan regional melalui usaha dengan semangat tanggungjawab bersama dan persahabatan yang akan menjamin bebasnya kemerdekaan negara-negara anggotanya.

Kerjasama dalam bidang ekonomi juga merupakan pilihan bersama para anggota ASEAN. Hal itu disadari karena negara-negara ASEAN pada saat itu adalah negara-negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi.

Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti bidang politik dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya melakukan kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua negara di Kalimantan. Malaysia dan Thailand melakukan kerja sama militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis.

Akan tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan militer asing yang berada di negara anggota ASEAN hanya bersifat sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang bersangkutan.

Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri. Seperti masalah  antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah wilayah di Borneo/Kalimantan Utara.

Kemudian persoalan hukuman mati dua orang anggota marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis di Malaysia, dan permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan. Akan tetapi, semua pihak yang terlibat dalam permasalahan-permasalahan tersebut dapat meredam potensi konflik yang muncul sehingga stabilitas kawasan dapat dipertahankan.

Aktivitas ASEAN dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan dikeluarkannya Kuala Lumpur Declaration pada 27 November 1971. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan kelima menteri Luar Negeri ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan zone of peace, freedom and neutrality (ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas dari segala campur tangan pihak luar.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah damai, bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam “Deklarasi Kesepakatan ASEAN” dan diterima sebagai program kegiatan kerangka kerja sama ASEAN.

Selain menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara- negara anggotanya sendiri, seperti potensi konflik yang telah dijelaskan sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal berdirinya adalah   masalah keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya sendiri.

Singapura misalnya, menampakan sikap kurang antusias terhadap ASEAN, sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam melakukan kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan sikap serius dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan.

Selain sikap meragukan yang muncul dari beberapa negara anggotanya, tantangan lainnya adalah munculnya citra kurang menguntungkan bagi ASEAN dari beberapa negara luar.

RRC menuduh bahwa ASEAN merupakan suatu proyek “pemerintah fasis Indonesia” yang berupaya menggalang suatu kelompok kekuatan di kawasan Asia Tenggara   yang menentang Cina dan komunisme.

RRC juga menuduh bahwa dalang dari kegiatan yang diprakarsai oleh “pemerintah fasis Indonesia” tersebut adalah Amerika Serikat. Uni Soviet tidak menunjukkan sikap penentangan, tetapi menganjurkan agar ASEAN digantikan oleh sebuah lembaga keamanan bersama bangsa-bangsa Asia, yaitu Asian Collective Security System

. Citra kurang menguntungkan dari ASEAN juga muncul dari Jepang. Jepang bahkan meramalkan ASEAN akan bubar dalam waktu yang singkat. Sikap dan penilaian berbeda dari negara luar ASEAN muncul dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.

Mereka  menyambut positif berdirinya ASEAN. Hal itu dapat dipahami karena negara- negara Barat sangat menginginkan suatu kawasan damai dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut untuk meredam bahaya komunisme di Asia Tenggara.

Keraguan beberapa negara anggota ASEAN sendiri dapat dimaklumi  karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan sebagai tahap konsolidasi ASEAN.

Pada tahap tersebut secara perlahan rasa solidaritas ASEAN terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah dan kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya.

Pada perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi yang mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.

Bidang sosial dan budaya pun menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai aktivitas budaya diupayakan untuk memasyarakatkan ASEAN terutama untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan berbagai kelompok masyarakat lainnya di   negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN pada 1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.

Perkembangan organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan yang positif setelah dalam KTT pertama di Bali   pada 1976 dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN yang berkedudukan di Jakarta.

Pada sidang tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di Manila tanggal 7 Juni 1976, H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN Indonesia) ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama. Akan tetapi karena persoalan politik dalam negeri Indonesia, H.R. Dharsono ditarik dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN dan digantikan oleh Umarjadi Njotowidjono.

Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977 telah memperkuat Deklarasi Kuala Lumpur dan telah berhasil menetapkan prinsip-prinsip program kerja dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas politik, memperat kerjasama ekonomi, sosial dan budaya.

KTT Bali telah berhasil menetapkan cara-cara yang lebih kongkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur pada 8-9 Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT ASEAN di bidang kerjasama ekonomi.

Dalam sidang menteri-menteri ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu antarnegara ASEAN dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan dan produksinya.

Secara kongkrit masing-masing negara ASEAN membangun lima buah proyek bersama. Kerjasama yang dimaksud adalah koordinasi antara satu dengan lainnya.

Dalam bidang perdagangan telah disepakati untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog dengan negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara Timur Tengah, Eropa   Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai kelompok negara lainnya.

Kerjasama antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu upaya kongkret Indonesia untuk menciptakan stabilitas kawasan.

Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerjasama regional itu tidak akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dalam masalah Indocina.

Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian Indocina secara keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat penting artinya dalam rangka memelihara keamanan dan menciptakan stabilitas di Asia Tenggara.

Indonesia kemudian berinisiatif menyelenggarakan konferensi untuk menyelesaikan masalah Kamboja dalam rangka mencegah semakin luasnya perang Vietnam.

Atas inisiatif Indonesia, diselenggarakan suatu konferensi di Jakarta pada 15-17 Mei 1970 yang dihadiri oleh sebelas negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos, Vietnam Selatan, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Australia dan Selandia Baru.

Konferensi tersebut tidak membuahkan hasil  secara  kongkrit,  tetapi  telah  memberikan saran-saran bagi penyelesaian konflik. Indonesia telah berupaya untuk menyumbangkan jasa baiknya  guna meredam potensi konflik dan konflik bersenjata di Asia Tenggara.

Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan di kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus mencegah dan menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bisa dikatakan adalah pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi ASEAN sangat tergantung dari cara Indonesia bersikap.

Peran sebagai pemimpin ASEAN sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi dalam negeri serta situasi politik dalam negeri yang belum stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di era pemerintahan Presiden SBY.

Melalui momentum terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai mengarahkan ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun 2015. Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan Cetak Biru Komunitas ASEAN 2015.

Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia menunjukan kepemimpinan dalam  mendorong  tercapainya  tiga  prioritas.  Pertama  adalah  kemajuan yang signifikan dalam pencapaian komunitas ASEAN 2015. Kedua adalah dipeliharanya kondisi kawasan Asia-Pasifik yang aman dan stabil. Serta yang ketiga adalah menggulirkan visi ASEAN untuk sepuluh tahun mendatang sesuai tema “ASEAN Community in a Global Community of Nations.

 

Tinggalkan Balasan