Makalah Lengkap dan Pengetahuan Umum
Indeks

Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau (Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara)

Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau‏

Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Para nelayan pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapannya. Begitu juga di pelabuhan terlihat lalu lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan laut yang sangat luas ciptaan Tuhan.

Sejak lama  laut  telah  berfungsi  sebagai jalur  pelayaran dan  perdagangan antar  suku bangsa di  Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa  di  dunia. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun.

Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai sejak abad pertama Masehi. Jalur- jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).

Demikian pula dari catatan-catatan  sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, telah menunjukkan adanya jaringan–jaringan  perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina.

Kontak dagang ini sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara  sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur  Arab banyak sumber berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.

Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau,  Demak, Cirebon, Banten, Ternate,  Tidore,  Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.

Dari sumber literatur  Cina, Cheng Ho  mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan  Malaka  yang  tumbuh  dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas- komunitas Muslim di pesisir utara Jawa bagian timur.

Berita Tome  Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran  mengenai      keberadaan jalur  pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab,  Persia, Gujarat,  Kling,  Malayu, Jawa, dan Siam.

Selain itu  Tome  Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki,  Kristen Armenia, Gujarat,Chaul, Dabbol, Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani,  Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung  Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura,  Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano,  Pase, Pedir, dan Maladiva.

Berdasarkan kehadiran  sejumlah pedagang dari berbagai negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka,  dan  bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome  Pires, kita dapat mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.

Hubungan   pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi.  Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai.

Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus  (Syam), aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai.

Pedagang Arab yang selama ini hanya berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab  dilarang masuk ke  Cina dan koloni  mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.

Portugis selanjutnya untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu,  pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut.

Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Perompakan itu sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan karena merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.

Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.

Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku.

Adapun Hitu (Ambon) menjadi  pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi  pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar.

Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).

Pada abad ke-15, Sulawesi Selatan telah didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim  di  Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.

Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun  mereka  beragama Katolik.  Kerjasama ini  didorong oleh adanya usaha monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.

Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia dijuluki sebagai  Raja Bulawa, artinya raja cengkih, karena membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan.

Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan adalah putik  bunga tumbuhan hijau (szygium  aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan.

Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih sampai 34 kg. Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.

perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pasaran Eropa  yang berkembang dengan cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak terjadi gangguan di laut sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon.

Oleh karena itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) memberikan dukungan yang besar bagi berkembangnya  pelayaran Islam di Samudra Hindia.

Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara – Demak, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi.

Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota- kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.

Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu, muncul nama-nama kampung berdasarkan asal daerah.

Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah  asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.

Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang-pedagang dari daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang-kadang langsung kepada petani.

Transaksi  itu  dilakukan di  pasar, baik di  kota  maupun desa. Tradisi  jual-beli dengan sistem barter hingga  kini  masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan  Islam telah menggunakan mata uang sebagai nilai tukar barang.

Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah setempat.

Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di  pedalaman yang tidak  menaruh perhatian pada perdagangan.