Sejarah Al-Qur’an dalam Lontara Bugis
Menurut pakar sejarah dan kebudayaan Bugis yang berkebangsaan Prancis, Christian Perlas, Islam telah masuk di wilayah Sulawesi Selatan sejak awal abad ke-17 seiring dengan diakuinya Islam sebagai agama resmi kerajaan Bone setelah “perang Islam” (Musu’ Selleng) selama lima tahun, antara Makassar dan kerajaan Bone.
Terhitung sejak masa ini, di Bugis, Islam kemudian menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakatnya. Atau, kecuali sebagian kecil komunitas yang diidentifikasi dengan sebutan To-Lotang, hampir semua orang Bugis menganut agama Islam. Bahkan, oleh Perlas, di samping orang Aceh, Melayu, Banjar, Sunda, Madura, dan Makassar, orang Bugis diasumsikan merupakan orang Indonesia yang paling kuat dan teguh memeluk ajaran Islam.
Sejalan dengan ini, tidak mengherankan jika sejak abad ke-17, oleh raja Bone, La Ma’daremmeng, syariat Islam kemudian dibakukan sebagai asas kerajaan.
Al-Qur’an, dalam tradisi pemikiran Islam, telah melahirkan ilmu yang demikian luas dan mengagumkan, yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Ilmu ini kemudian dikenal sebagai ilmu tafsir, yang ditulis oleh ulama dengan berbagai metode yang beragam, kecenderungan dan karakteristiknya masing-masing; dari tafsir klasik yang ditulis dengan memanfaatkan sumber riwayat (ma’tsûr),
seperti yang ditempuh al- Thabarîy (224-310 H) dan Ibn Katsîr (700-774), hingga tafsir kontemporer yang memanfaatkan sumber tafsirnya dengan perangkat ilmu-ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan ilmiah (tafsîr’ilmîy), kemanusian dan sosial (adâb al-’ijtimâ îy), seperti yang ditempuh pada tafsir Thantawi Jawhârî (w. 876 H) dan tafsir Muhammad Rasyîd Ridhâ (1282-1354 H).
Fenomena maraknya penulisan dan keragaman literatur tafsir yang terus berkembang yang terjadi di kalangan umat Islam di dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, adalah suatu kajian yang masih terus menarik.
Ini terlihat dengan maraknya para pengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari kalangan islamisis (orientalis).
Setidaknya pada abad ke-20 para intelektual Muslim Indonesia memperlihatkan geliat yang cukup menarik dalam tradisi tafsir Geliat itu dapat dilihat tidak saja dalam konteks kuantitas literatur tafsir yang ditulis oleh para intelektual Muslim Indonesia, tetapi juga dalam konteks kualitas; munculnya beragam tujuan, bentuk, dan prinsip metodologi bahkan bahasa yang digunakan.
Misalnya Tafsir al-Qur’an al-Karim Bahasa Indonesia (1938 M) karya Mahmoed Yunus, Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an(1928 M) karya A. Hassan, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka (1973), Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab yang mewakili model tafsir tahlîlî.
Demikian pula, Wawasan al-Qur’an karya M. Quraish Shihab, Keajaiban Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an, karya Joesoef Syua’yb, Esiklopedia Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci karya Dawam Raharjo, Tafsir al-Hijri; Kajian Tafsir al-Qur’an Surat al-Nisa’ karya Didin Hafidhuddin dan masih banyak lainnya, yang mewakili model tafsir mawdhu’i.
Nusantara telah mengalami perkembangan dengan munculnya literatur tafsir dalam bahasa Melayu, Jawa, Batak, Sunda dan beberapa bahasa lokal lainnnya. Banyak orang Muslim pribumi menyusun tafsir dengan beragai jenis bahasa dan metode yang digunakan.
Kemudian muncullah penyebutan tafsir ”pribumi”, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menyebut literatur tafsir yang muncul dari kreasi para muslim Nusantara, baik yang asli maupun keturunan.
Vernakulisasi (pribumisasi) dalam tradisi al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama Nusantara paling tidak ada dua alasan, yaitu, pertama, sebagai bentuk sosialisasi dan pembumian kitab suci al- Qur’an kepada masyarakat Muslim Indonesia yang tidak paham bahasa Arab sehingga al-Qur’an tetap menjadi kitab pegangan dan petunjuk.
Kedua, adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya lokal, yaitu bahasa daerah itu sendiri.
Melalui media bahasa ibu, sebuah pesan akan mudah sampai kepada pembacanya. Demikian pula dengan pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an, kiranya lebih meresap ke dalam kalbu ketika disampaikan melelui bahasa ibu, dalam hal ini bahasa Bugis.
Itulah yang mendorong baik secara individu sebagaimana dilakukan oleh AG. Daud Ismail dengan menulis tafsir Bugis yang lengkap, maupun secara kelembagaan.
seperti halnya Tafsir Bugis yang ditulis oleh tim Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan “Tafesere Akorang Mabbasa Ugi” (disebut tafsir Bugis MUI), menerjemahkan, mengadaptasikan, dan menafsirkan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah. Apalagi dituangkan dalam bentuk tulisan bahasa aksara lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, yang juga disebut dengan istilah huruf Lontara.
Aksara Lontara (untuk bahasa Bugis) terdiri dari 23 huruf:
|
Dengan demikian tafsif Bugis MUISulsel hadir di tengah-tengah masyarakat Bugis sebagai jawaban terhadap kekosongan literatur yang dapat dibaca oleh masyarakat Bugis yang kurang mengerti atau mampu membaca literatur yang berbahasa Arab dan Latin (bahasa Indonesia).
Di samping itu pula, keberadaan tafsir bahasa Bugis ini adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari kepunahan dan memberikan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang benar melalui petunjuknya dari al-Qur’an.
Tafsir ini mulai ditulis sekitar 1988 oleh satu tim yang dibentuk oleh MUI Sulawesi Selatan di mana pada saat kepimpinan MUI di motori oleh AG. Abd. Muin Yusuf.
Tafsir ini selesai ditulis pada hari kamis tanggal 20 Oktober 1996 bertepatan dengan tanggal Jumadil Akhir 1416 H. Ia adalah karya tafsir kedua bahasa Bugis yang lengkap (11 jilid) setelah kitab tafsir yang ditulis oleh AG. Daud Ismail.