Daftar Isi
Pengertian Tradisi Massuro Ma’baca (msuro mbc)
Secara etimologi atau studi kata, kata tradisi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris, tradition. Seperti kata action, connection, resolution atau justification, dalam bahasa Inggris, sufiks atau akhiran “-tion” pada kata tradition diganti dengan akhiran “-si” sehingga menjadi tradisi. Namun sebenarnya akar kata tradisi atau tradition itu sendiri berasal dari bahasa Latin, traditio; dan traditio adalah kata benda dari kata kerja tradere atau traderer, yang bermakna “menyampaikan, menyerahkan untuk mengamankan, atau mentransmisikan”, atau dengan kata lain, tradisi adalah “sesuatu yang ditransmisikan.
Massuro Ma’baca (msuro mbc) berasal dari bahasa Bugis, yaitu kata Massuro (msuro ) berarti meminta atau memohon, sedangkan Ma’baca (mbc) berarti membaca. Jadi Massuro Ma’baca (msuro mbc) dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk meminta orang lain untuk membacakan doa-doa keselamatan dan kesyukuran serta doa untuk orang yang meninggal dunia, hal ini didorong dengan kesadaran seseorang atas kurang dalamnya ilmu agama yang dimiliki dan ketaatan yang juga masih kurang. Biasanya orang yang diminta Ma’baca (mbc) adalah orang yang diangap punya ilmu agama yang dalam, rajin menjalankan syariat, serta punya hubungan sosial yang baik kepada masyarakat.
Tradisi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan ajaran dan sebagainya yang turun-temurun dari nenek moyang.
Bahkan jika para Ulama menyebar Islam tanpa mengakulturasikan budaya maka Islam tidak akan diterima dan tidak akan menjadi agama mayoritas di Indonesia saat ini. Salah satu kepercayaan lokal yang mengakar di masyarakat Nusantara, terutama di masyarakat Bugis adalah Massuro Ma’baca (msuro mbc). Perilaku berulang-ulang yang dilakukan seseorang atau masyarakat kemudian menjadi kebiasaan, sering disebut adat kebiasaan.
Massuro Ma’baca (msuro mbc) merupakan usaha yang dilakukan masyarakat Bugis untuk menghadirkan tokoh agama atau tokoh adat untuk membacakan doa-doa tertentu sebagai upaya untuk menolak bala yang dianggap kapan saja bisa menyerang seperti wabah penyakit, angin buting beliung, banjir dan lain sebagainya. Ritual ini juga sering dilakukan sebagai bentuk kesyukuran atas apa yang diperoleh oleh seseorang.
Massuro Ma’baca (msuro mbc) ini tidak dilarang atukah dihilangkan oleh tokoh-tokoh masyarakat Islam terdahulu, bahkan menganjurkan agar ritual tersebut tetap dilakukan dan dijaga, usaha mereka hanya merubah doa-doa yang sebelumnya bercorak Hindu, Budha dan berbauh kepercayaan lokal dengan doa yang sesuai dengan tutunan Al-quran dan Hadits. Doa-doa tolak bala, kalimat-kalimat kesyukuran, dan doa untuk orang mati persi sebelumnya dirubah dengan persi yang bernuansa Islam.
Dalam ritual Massuro Ma’baca (msuro mbc), pihak yang didoakan biasanya menyiapkan makanan-makanan yang memiliki filosofi yang luas, misalnya Onde- onde (aoed–aoed), Baje’ (bej), Kuelapisi (kuea lpisi), Beppa pitu (ebp pitu) dan Cucuru’ (cucuru). Jenis kue ini sangat identik dengan tepung, gula merah dan kelapa yang dianggap sebagai filosofi kehidupan yang sejahtera (makanja). Juga sering dihidangkan makanan seperti nasi putih, beras ketan, lengkap dengan lauk seperti ayam, ikan, telur dan air putih. Makanan ini melekat filosofi kehidupan yang berkecukupan dan Mapan.
Pengertian Nilai Budaya
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.
Ada beberapa pegertian tentang nilai, yaitu sebagai berikut:
- Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang sedemikian rupa oleh seseorang sesuai denagn tututan hati nuraninya (pengertian secara umum)
- Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang tentang kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna pada kehidupan
- Nilai adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga, kebenaran atau keinginan mengenai ide-ide, objek, atau prilaku khusus.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota- anggota suatu masyarakat.
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi, nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol- simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu: Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas) sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Sistem nilai budaya, pandangan hidup, dan ideologi. Sistem budaya merupakan tingkatan yang paling tinggi dan abstrak dalam adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai – nilai budaya itu merupakan konsep – konsep mngenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.
Setiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi system nilai budaya adalah
- Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia, Ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakekatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan. Pada agama Budha misalnya,pola-pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju arah tujuan bersama dan memadamkan hidup Adapun kebudayaan-kebudayaan lain memandang hidup manusia dapat mengusahakan untk menjadikannya suatu hal yang indah dan menggembirakan.
- Masalah mengenai hakekat dari karya manusia Kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk memungkinkan hidup,kebudayaan lain menganggap hakekat karya manusia itu untuk memberikannya kehormatan,ada juga kebudayaan lain yang menganggap karya manusia sebagai suatu gek hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya
- Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu.Kebudayaan memandang penting dalam kehidupan manusia pada masa lampau, keadaan serupa ini orang akan mengambil pedoman dalam tindakannya contoh-contoh dan kejadian-kejadaian dalam masa Sebaliknya ada kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Dalam kebudayaan ini perencanaan hidup menjadi suatu hal yang sangat amat penting.
- Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya Kebudayaan yang memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia hanya dapat bersifat menyerah tanpa dapat berusaha Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang memandang alam sebagai lawan manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukan alam. Kebudayaan lain masih ada yang menganggap bahwa manusia dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
- Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan ada kebudayaan yang mementingkan hubungan vertical antara manusia dengan sesmanya. Tingkah lakunya akan berpedoman pada tokoh-tokoh Kebudayaan lain mementingkan hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya. Dan berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga dan sesamanya merupakan suatu hal yang penting dalam hidup. Kecuali pada kebudayaan lain yang tidak menganggap manusia tergantung pada manusia lain, sifat ini akan menimbulkan individualisme.
Nilai-nilai Islam dalam tradisi Massuro Ma’baca (msuro mbc)
Kata nilai dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti harga. Nilai memiliki makna yang berbeda bila berada pada konteks yang berbeda pula. Dalam konteks akademik nilai bisa berarti angka kepandaian, ”rata-rata nilai mata pelajaran matematika”. Dalam konteks yang lain nilai berarti kadar, ”nilai gizi berbagai jeruk hampir sama”.
Secara hakiki nilai agama merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki oleh nilai agama,karena itu, nilai tertinggi yang harus dicapai adalah adanya keselarasan semua unsur kehidupan, antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara ‘itiqad dan perbuatan.
Tata nilai baik (value system) baik yang Islami maupun bukan adalah denyut jantung kehidupan masyarakat. Tata nilai terkait erat dengan ‘pola pikir’ yang hidup dalam masyarakat sehingga erat pula kaitannya dengan ‘kebudayaan’ itu sendiri. Dalam perspektif ini, tata nilai yang melandasi gerak dan aktivitas individu dalam masyarakat ada hubungannya dengan literatur, pola pendidikan, wejangan-wejangan, idiom-idiom, kitab suci, buku-buku keagamaan, wasiat leluhur dan lain sebagainya dipergunakan oleh masyarakat sebagai rujukan pola berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya penelitian menguraikan pokok-pokok ajaran Islam tersebut sekaligus sebagai nilai tertinggi dalam agama Islam yaitu sebagai berikut:
Nilai akidah
Akidah adalah urusan yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, menentramkan jiwa, dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur dengan keraguan. Karakteristik akidah Islam bersifat murni, baik dalam isi maupun prosesnya, dimana hanyalah Allah yang wajib diyakini, diakui dan disembah. Keyakinan tersebut sedikitpun tidak boleh dialihkan kepada yang lain, karena akan berakibat penyekutuan yang berdampak pada motivasi ibadah yang tidak sepenuhnya didasarkan atas panggilan Allah swt,. Akidah ini termanifestasi dalam kalimat thoyyibah (laa Ilaaha illallah). Dalam prosesnya, keyakinan tersebut harus langsung, tidak boleh melalui perantara. Akidah demikian yang akan melahirkan bentuk pengabdian hanya kepada Allah, berjiwa bebas, merdeka dan tidak tunduk pada manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Nilai syariah
Secara redaksional pengertian syariah adalah “The part of the water place” yang berarti tempat jalannya air, atau secara maknawi adalah sebuah jalan hidup yang telah ditentukan Allah swt., sebagai panduan dalam menjalan kehidupan di dunia untuk menuju kehidupan akhirat. Kata syariah menurut pengertian hukum Islam berarti hukum-hukum dan tata aturan yang disampaikan Allah Swt., agar ditaati hamba-hamba-Nya. Syariah juga diartikan sebagai satu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam lainnya.
Nilai Akhlaq
Menurut pendekatan etimologi, akhlaq berasal dari bahasa arab khuluqun yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti Pencipta dan makhluk yang berarti yang diciptakan. Pola bentuk definisi akhlaq tersebut muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq dengan makhluk secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablumminallah. Dari produk hablum minallah yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antarsesama manusia yang disebut dengan hablum minannas.
Proses Akulturasi antara Massuro Ma’baca (msuro mbc) dengan Ajaran Islam
Akulturasi antar suku yang berhubungan dan berbeda kebudayaan biasanya salah satunya menduduki posisi yang dominan. Begitupula yang terjadi dalam akulturasi sistem kepercayaan, salah satunya memungkinkan untuk menghegemoni sistem kepercayaan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, kebudayaan masyarakat di berbagai wilayah mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam, seperti animisme, dinamisme, hinduisme, budhisme, dan islamisme. Maka ketika Islam dipeluk oleh masyarakat suatu wilayah, kebudayaan dari mereka masih tetap melestarikan unsur-unsur kepercayaan lama dalam berbagai wujud ritus atau upacara.
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Teori ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya.
Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks kekinian, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syariah. Dalam pandangan mereka, jika syariah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.
Persoalan interaksi agama dengan budaya pada intinya melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut karena berasal dari Tuhan- dengan nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu selaras dengan ajaran-ajaran ilahiah.
Dengan kata lain, agama memberikan kepada manusia sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengetahuan dan pengalaman empiris kemanusiaan itu sendiri, melainkan dari otoritas ketuhanan.
Tetapi konstruksi realitas yang bersifat transenden ini tidak dapat sepenuhnya dipahami dan diwujudkan manusia karena tidak jarang konsepsi yang diberikan Tuhan itu disampaikan melalui simbolisme dan ambiguitas, yang pada gilirannya menciptakan perbedaan-perbedaan interpretasi dan pemahaman di antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia.
Sementara itu, konstruksi realitas transenden itu bukan pula satu-satunya paradigma yang membentuk atau mempengaruhi manusia. Melalui kemampuan nalar manusia yang menghasilkan pengetahuan atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun konstruksi realitasnya sendiri, yang mungkin khas dan berbeda dengan agama yang dipahami secara umum. Konstruksi realitas yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai tradisi, adat, atau secara umum sebagai budaya kemanusiaan. Tradisi atau adat berkaitan dengan kenyataan bahwa mayoritas Muslim memang memerlukan kepastian terutama dalam dua hal: pertama, dalam bidang hukum atau aspek eksoteris Islam;kedua, dalam bidang batin atau esoteris Islam.
Persentuhan Islam dengan budaya lokal tidak menafikan adanya akulturasi timbal-balik atau saling mempengaruhi satu sama lain. Namun Harun Nasution menegaskan, jika agama mempengaruhi kebudayaan, maka agama yang dimaksud ialah dalam arti ajaran-ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan. Ajaran-ajaran dasar itulah yang mempengaruhi kebudayaan umat yang menganut agama bersangkutan. Sebaliknya, jika dikatakan kebudayaan mempengaruhi agama, maka agama yang dimaksud ialah dalam arti ajaran-ajaran yang dihasilkan pemikiran manusia tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar. Dalam menentukan ajaran-ajaran yang bukan dasar ini manusia dipengaruhi oleh kebudayaan sendiri.
Disadari kemudian bahwa Islam sebagai agama tidak datang kepada komunitas manusia dalam kondisi yang hampa budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat dengan keyakinan, tradisi, dan praktek-praktek kehidupan sesuai dengan budaya yang membingkainya.
Konteks sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang beresensi kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-Nya, keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondisi sosial yang memang telah ada dalam masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan fenomena dan realitas budaya di mana Islam itu hadir.
Kehadiran agama telah merambah ke berbagai dimensi budaya manusia; mulai dari tradisi bahasa, pakaian, pergaulan, pola penyembahan, falsafah kearifan lokal, ritual kebahagiaan dan rasa syukur, prosesi kelahiran dan kematian, pernikahan dan warisan, dan lain-lain sampai kepada hal yang bersifat privat seperti etika hubungan seksual.
Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya mengantarkan diapresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai tersebut sejalan dengan semangat yang dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis.
Sadar atau tidak sadar, manusia secara individu maupun kolektif (masyarakat) akan terpengaruh dan menerima berbagai warisan, ajaran, kepercayaan, dan ideologi tertentu dari hasil komunitasnya melalui internalisasi dan sosialisasi sejak ia lahir dari rumah tangga, serta pengaruh dari lingkungan hidupnya tempat manusia itu tumbuh. Jika tradisi budaya masyarakat telah diresapi oleh setiap orang, maka perilaku yang dibingkai dalam bentuk tradisi itu hampir menjadi otomatis dan tanpa disadari sudah diterima secara sosial pula.