Daftar Isi
Sejarah Lahirnya Daulah Abbasiyah
Kebangkitan Daulah Abbasiyah dimulai dengan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Daulah Umayyah di Andalusia pada masa kepemimpinan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pada masa Umayah, proses Arabisasi sangat kental dalam tampuk kepemimpinan, kurang melibatkan kaum Mawali/Azam (non Arab) dan memberikan denda kepada bangsa-bangsa yang dikuasai serta harus adanya jizyah bagi para muallaf, serta tidak melibatkan kaum Syiah, Kahawarij dalam pemerintahannya.
Gerakan-gerakan perlawanan terhadap Daulah Umayyah menemukan momentumnya ketika para tokoh pemrakarsa Daulah Abbasiyah di antaranya Muhammad bin Ali, menjadikan kota Kuffah sebagai pusat kegiatan rintisan kekuasaan yang baru.
Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat strata dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang sejak dari awal tidak berpihak kepada Daulah Umayyah.
Kepemimpinan Daulah Umayyah berakhir pada tahun 132 H (750 M) dengan wafatnya pemimpin terakhir yaitu Khalifah Marwan bin Muhammad di Fustat, Mesir pada 132 H/705 M dan dengan demikian secara de facto berdirilah kekuasaan Daulah Abbas atau Kekhalifahan Abbasiyah.
Daulah Abbasiyah berkuasa selama hampir enam abad (132-656 H/750-1258 M), didirikan oleh Abul Abbas As Saffah dibantu oleh Abu Muslim Al Khurasani, seorang panglima Muslim yang berasal dari Khurasan, Persia dan Abu Ja’far Al Manshur (754- 775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan Daulah Abbasiyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Daulah ini adalah keturunan Abbas paman Nabi Saw.
Khalifah-khalifah Daulah Abbasiyah
Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M)
Abu Ja’far Al-Manshur menjadikhalifah kedua Daulah Abbasiyah meneruskan khalifah sebelumnya Abul Abbas Daulah. Abu Ja’far Al Manshur merupakan putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib, masih saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abul Abbas Daulah. Ketiganya merupakan pendiri Daulah Abbasiyah.
Abu Ja’far sedang menunaikan ibadah haji bersama Abu Muslim Al Khurasani ketika Khalifah Abul Abbas As Saffah meninggal. Adapun yang pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dibaiat menjadi Khalifah pada 136 H/754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Daulah Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa pemerintahannya terjalin kerjasama erat antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara lembaga-lembaga lain yang ada pada waktu itu.
Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolak politik dan cenderung stabil. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur sangat hati-hati dalam melangkah dan mengambil sikap terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan kebijakan khalifah.
Muhammad Al-Mahdi (158 H/775 M-169 H/785 M)
Muhammad Al-Mahdi bin al-Mansur dibaiat menjadi Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya pada tahun 158 H/775 M. Muhammad Al-Mahdi dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya.
Muhammad Al-Mahdi berhasil mencapai kemenangan-kemenangan atas orang-orang Romawi. Dibantu anaknya, Harun Ar-Rasyid adalah panglima Penakluk Romawi. Dia sampai ke pantai Marmarah dan berhasil melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tahun 169 H/785 M. Muhammad Al-Mahdi tercatat memerintah selama 10 tahun beberapa bulan.
Harun Al-Rasyid (170 H/786 M-193 H/809 M) Harun Al-Rasyid bin al-Mahdi adalah mutiara sejarah Daulah Abbasiyah. Harun Al-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Meski berasal dari Daulah Abbasiyah, Harun Al-Rasyid dikenal dekat dengan keluarga Barmak dari Persia (Iran).
Pada masa ke-khalifahan Harun Al-Rasyid, dikenal sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia.Perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid yang begitu besar terhadap kesejahteraan rakyat serta kesuksesannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, perdagangan, politik, wilayah kekuasaan, dan peradaban Islam.
Harun Al-Rasyid memimpin selama 23 tahun (786 M – 809 M). Dalam kepemimpinanannya Harun Al-Rasyid mampu membawa daulah yang dipimpinnya ke puncak kejayaan. Ada banyak hal yang patut ditiru para pemimpin Islam di abad ke-21 ini dari sosok khalifah besar ini. Sebagai pemimpin, dia menjalin hubungan yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman.
Harun Al-Rasyid menjadi khalifah saat berusia cukup muda, yaitu 22 tahun, dan wafat dalam usia yang juga masih muda, yaitu 45 tahun. Saat dia wafat pada tahun 193 H/809 M negara dalam keadaan makmur dengan memiliki kekayaan 900 juta dirham.
Periodesasi Kepemimpinan Daulah Abbasiyah
Periode pertama
Periode pertama Daulah Abbasiyah mulai tahun 132 H atau 750 M sampai tahun 232 H atau 847 M. Sejak awal berdiri sampai pemerintahan ke sembilan Abu Ja’far Al-Watsiq, periode ini disebut juga pengaruh Persia pertama. Hal itu disebabkan pemerintahan Daulah Abbasiyah dipengaruhi dengan sangat kuat oleh keluarga dari bangsa Persia, yaitu keluarga Barmak.Usaha militer merupakan kebijakan yang terus menerus dilakukan oleh para khalifah Daulah Abbasiyah sejak yang pertama hingga khalifah terakhir. Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode pertama adalah sebagai berikut:
- Abu Abbas Daulah (132 H/750M-136 H/754 M)
- Abu Ja’far Al-Mansur (136 H//754 M -158 H/775 M)
- Muhammad Al-Mahdi (158 H/775 M-169 H/785 M)
- Musa Al-Hadi (169 H/785 M-170 H/786 M)
- Harun Ar-Rasyid (170 H/786 M-193 H/809 M)
- Abdullah Al-Amin (193 H/809 M-198 H /813 M)
- Abdullah Al-Makmun (198 H/813 M-218 H/833 M)
- Al Mu’tashim Billah (218 H//833 M-227 H/842 M)
- Abu Ja’far Al-Watsiq (227 H/842 M-232 H/847 M)
Tercatat dalam sejarah bahwa periode pertama menjadi masa keemasan dan kejayaan Daulah Abbasiyah. Walaupun demikian, bibit kemunduran Daulah Abbasiyah sudah muncul pada akhir periode ini. Khalifah Al-Watsiq merupakan khalifah terakhir pada periode pertama. Kebijakannya yang paling krusial adalah mengangkat wakil dari seorang perwira Turki bernama Asyam.
Periode kedua
Periode ini berlangsung tahun 232H/847M-334H/945 M). Sejak khalifah Al Mutawakkil sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Bagdad, dan pengaruh Turki pertama. Disebut demikian karena tentara Turki menjadi tentara Daulah Abbasiyah sangat mendominasi pemerintahan.
Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode kedua:
- Al-Mutawakil (232 H/847 M-247 H/861 M)
- Al-Muntshir (247 H/861 M-248 H/862 M)
- Al-Mus`tain (248 H/862 M-252 H/866 M)
- Al-Mu`taz (252 H/866 M-255 H/869 M)
- Al-Muhtadi (255 H/869 M-256 H/870 M)
- Al-Mu`tamid (256 H/870 M-279 H/892 M)
- Al-Mu`tadhid (279 H/892 M-289 H/902 M)
- Al-Muktafi (289 H/902 M-295 H/908 M)
- Al-Muqtadi (295 H/908 M-320 H/932 M)
- Al-Qohir (320 H/932 M-322 H/934 M
- Ar-Rodhi (322 H/934 M-329 H/ 940 M)
- Al-Muttaqi (329 H/940 M-333 H/944 M)
- Al-Muktafi (333 H/944 M-334 H/946 M)
Pada periode ini kebijakan para khalifah banyak dipengaruhi oleh orang orang Turki, mulai periode ini sampai periode ke-empat, peranan khalifah dalam pemerintahan mulai berkurang. Demikian halnya dengan kegiatan keagamaan, kegiatan kajian keilmuan sudah mulai berkurang, tidak seperti pada masa periode pertama.
Periode ketiga
Daulah Abbasiyah periode ini dimulai tahun 334 H/945 M-447 H/1055 M. Sejak berdirinya Daulah Buwaihiyah sampai masuknya Saljuk ke Bagdad. Periode ini disebut juga Periode Persia kedua. Disebut demikian karena pada waktu ini golongan dari bangsa Persia berperan penting dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu Daulah Buwaihiyah. Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode ketiga:
- Al-Muktafi (333 H/944 M-334 H/946M)
- Al-Muti (334 H/946 M-362 H/974M)
- At-Tho`i (362 H/974 M-381 H/991M)
- Al-Qodir (381 H/991 M-422 H/1031M)
Pada periode ini kondisi politik sering tidak stabil karena sering terjadi kemelut dalam pergantian kepemimpinan di antara para penguasa Daulah Buwaihiyah. Pada masa itu, para khalifah bahkan kehilangan legitimasi keagamaannya. Posisi mereka sebagai khotib salat Jum’at banyak diserahkan kepada orang-orang dari kalangan Buwaihiyah.
Periode keempat
Daulah Abbasiyah pada periode ini berlangsung dari tahun 447 H/1055 M 590 H/1194 M. Sejak masuknya orang-orang dari Daulah Saljuk di Bagdad dipengaruhi oleh bangsa Turki kedua.Disebut demikian karena pada waktu itu golongan dari bangsa Turki berperan penting dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, yakni Daulah Saljuk.Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode keempat: a. Al-Qoyyim (422 H/1031 M-467 H/1075M)
- Al-Muqtadi (467 H/1075 M-487 H/1094M)
- Al-Mustazhir (487 H/1094 M-512 H/1118M)
- Al-Musytarsid (512 H/1118 M-529 H/1135M)
- Al-Rasyid (529 H/1135 M-530 H/1136M)
- Al-Mustafi (530 H/1136 M-555 H/1160M)
- Al-Mustanjid (555 H/1160 M-566 H/1170 M)
- Al-Mustadi (566 H/1170 M-575 H/1180M)
- An-Nashir (575 H/1180 M-622 H/1124M)
Periode ini merupakan akhir dari Daulah Saljuk, Khawarizm Syah telah mengakhiri Daulah ini. Para khalifah Daulah Abbasiyah memiliki kekuasaan penuh dalam bidang politik dan keagamaan, hanya saja wilayah kekuasaaannya tidak seluas masa sebelumnya, karena hanya meliputi wilayah Iraq dan sekitarnya.
Periode kelima
Periode ini di mulai tahun 590 H/1194 M-656 H/1258 M dan tidak lagi dipengaruhi oleh pihak manapun, namun kekuatan politik dan militer Daulah Abbasiyah sudah lemah sehingga kekuasaan mereka hanya meliputi wilayah Irak dan sekitarnya saja. Khalifah Daulah Abbasiyah pada periode kelima:
- Az-Zahir (622 H/1224 M -623 H/1226M)
- Al-Mustanshir (623 H/1226 M-640 H/1242M)
- Al-Musta`shim (640 H/1242 M-656 H/1258M)
Berakhirnya Daulah Abbasiyah datang seiring serangan Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Kota Bagdad dan berbagai peninggalan bersejarah dihancurkan. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak selamanya berjalan mulus dan tanpa gejolak. Selama beberapa periode pemerintahan terjadi pasang surut yang menyebabkan pergantian khalifah dari beberapa bangsa yaitu Turki, Persia dan Saljuk. Kecakapan para khalifah sangat berperan penting dalam mewujudkan kejayaan Daulah Abbasiyah dalam mewujudkan masyarakat yang makmur, memajukan peradaban dan ilmu pengetahuan. Khalifah juga sangat berperan penting dalam mengendalikan keamanan dan stabilitas perekomian sehingga konflik-konflik internal relatif dapat diredam.
Melemahnya Daulah Abbasiyah juga disebabkan oleh faktor politik antar bangsa, yaitu berdirinya daulah-daulah lain disekitar wilayah Daulah Abbasiyah. Diantara daulah-daulah lain yang berdiri di sekitar Daulah Abbasiyah adalah Daulah Umayyah di Andalusia, Daulah Thuluniyah, Daulah Ikhsyidiyah, Daulah Fathimiyah dan Daulah Ayyubiyah di Mesir.
Penyebaran Wilayah Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
Perkembangan Islam pada masa pemerintah Daulah Abbasiyyah, meliputi sekitar kerajaan-kerajaan Islam yang besar. Pada masa itu berdiri juga Daulah Umayyah di Andalusia yang dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil dan para penguasa keturunan Daulah Umayyah. Dengan adanya kekuasaan Islam selain Daulah Abbasiyah di Andalusia (Eropa) berarti wilayah dakwah Islam semakin luas.
Di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah, daerah-daerah yang ditaklukkan dikembangkan menjadi pusat-pusat peradaban Islam, seperti Baghdad, Isfahan, Tabaristan, Ghasnah, Halab, Bukhara dan lainnya. Pada beberapa kota tersebut juga sering terdapat bangunan Istana para raja atau amir yang menguasai daerah tersebut. Peradaban Islam pun mengalami kemajuan yang cukup pesat, karena para penguasanya peduli terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahun.
Daulah Abbasiyah tidak hanya menguasai wilayah tertentu, para khalifah menjadikan daerah kekuasaaanya sebagai pilar berkembanganya peradaban dan ilmu pengetahuan,sehingga bisa dirasakan adanya perbedaan dan kemajuan setelah dikuasai Islam dibandingkan pada masa sebelum kedatangan Islam. Wilayah-wilayah yang telah dikuasai Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Perkembangan wilayah Islam tidak semata-mata karena ambisi memperluas wilayah kekuasaan. Para khalifah lebih peduli terhadap negeri tetangga yang ditindas oleh penguasanya, maka khalifah terpanggil untuk menyelamatkan mereka sekaligus menguasai wilayah tersebut. Seperti halnya Kerajaan Ghana yang beralih ke pangkuan Daulah Abbasiyah pada tahun 1067 M, sehingga menjadi negeri yang makmur.
Ketika Daulah Abbasiyyah yang berada dipimpin Khalifah Harun Al-Rasyid (170 H/193 H-786 M/809 M), hubungan diplomatik terjalin baik dengan raja Charlemagne (Perancis). Sehingga hubungan kedua kerajaan tersebut harmonis. Khalifah Harun al Rasyid memberikan kebebasan dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang-orang
Nasrani yang ingin berziarah ke Bait al-Maqdis. Hubungan tersebut sangat baik terutama dalam muamalah dan saling menghormati dalam menjalankan ibadahnya masing-masing. Hubungan tersebut berubah ketika kekuasaan kekhalifahan dipegang oleh orang orang Turki. Orang-orang Turki yang memegang kekuasaan dan mempunyai pengaruh di Istana, sangat benci terhadap orang-orang Nasrani.
Mereka kurang memberi toleransi terhadap penganut agama lain (Nasrani). Hal tersebut disebabkan sempitnya pemahaman mereka terhadap agama. Mereka mempersempit ijin bagi kaum Nasrani yang akan berziarah ke Bait al-Makdis, dengan cara meminta upeti yang cukup tinggi. Hal inilah yang di kemudian hari memunculkan benih-benih perang Salib.
Perkembangan Peradaban dan Ilmu Pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah
Pada masa sebelumnya, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi. Al-Mansur merupakankhalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam.
Faktor Kemajuan Peradaban Daulah Abbasiyah:
Faktor Politik
- Pindahnya ibu kota negara dari Al-Anbar (Al-Hasyimiyah) ke Bagdad yang dilakukan oleh Khalifah al-Mansur.
- Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan istana.
Faktor Sosiografi
- Meningkatnya kemakmuran umat Islam
- Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim yang taat.
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
- Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual. 2
Indikator Kemajuan Peradaban Daulah Abbasiyah
Perkembangan Ilmu Keagamaan
Di bidang ilmu-ilmu agama, era Daulah Abbasiyah mencatat dimulainya sistematisasi beberapa cabang keilmuan seperti Tafsir, Hadis dan Fikih. Khususnya sejak tahun 143 H, para ulama mulai menyusun buku dalam bentuk yang sistematis baik di bidang ilmu tafsir, hadis maupun fiqh.
Di antara ulama yang terkenal adalah adalah Ibnu Juraij (w. 150 H) yang menulis kumpulan hadis di Mekah, Malik bin Anas (w. 171 H) yang menulis Al-Muwatta’ nya di Madinah, Al-Awza`i di wilayah Syam, Ibnu Abi `Urubah dan Hammad bin Salamah di Basrah, Ma`mar di Yaman, Sufyan al-Tsauri di Kufah, Muhamad bin Ishaq (w. 151 H) yang menulis buku sejarah (Al Maghazi), Al-Layts bin Sa’ad (w. 175 H) serta Abu Hanifah.
Pada masa ini ilmu tafsir menjadi ilmu mandiri yang terpisah dari ilmu Hadis. Buku tafsir lengkap dari al-Fatihah sampai al-Nas juga mulai disusun. Pertama kali yang melakukan penyusunan tafsir lengkap adalah Yahya bin Ziyad al-Dailamy atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farra. Tapi luput dari catatan Ibnu al-Nadim bahwa `Abd al-Razzaq bin Hammam al-San`ani (w. 211 H) yang hidup sezaman dengan Al-Farra juga telah menyusun sebuah kitab tafsir lengkap yang serupa.
Ilmu fikih pada zaman ini juga mencatat sejarah penting, dimana para tokoh yang disebut sebagai empat imam mazhab fikih hidup pada era tersebut, yaitu Abu Hanifah (w.150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Imam As-Syafi`i (w. 204 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Ilmu Hadis juga mengalami masa penting khususnya terkait dengan sejarah penulisan hadis-hadis Nabi yang memunculkan tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas seperti Ibnu Juraij, Malik bin Anas, juga al-Rabi` bin Sabih (w. 160 H) dan Ibnu Al-Mubarak (w. 181 H).
Selanjutnya pada awal-awal abad ketiga, muncul kecenderungan baru penulisan hadis Nabi dalam bentuk musnad. Di antara tokoh yang menulis musnad antara lain Ahmad bin Hanbal, `Ubaidillah bin Musa al-`Absy al-Kufi, Musaddad bin Musarhad al-Basri, Asad bin Musa al-Amawi dan Nu`aym bin Hammad al-Khuza`i.
Perkembangan penulisan hadis berikutnya, muncul tren baru yang bisa dikatakan sebagai generasi terbaik sejarah penulisan hadis, yaitu munculnya kecenderungan penulisan hadis yang didahului oleh tahapan penelitian dan pemisahan hadis-hadis sahih dari yang dha`if sebagaimana dilakukan oleh Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H), At-Tirmizi (w. 279 H), serta An-Nasa’i (w. 303 H).
Disiplin keilmuan lain yang juga mengalami perkembangan cukup signifikan pada era Abbasiyah adalah ilmu sejarah yang dipelopori oleh Ibnu Ishaq (w. 152 H) dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hisyam (w. 218 H). Selanjutnya muncul pula Muhamad bin `Umar al-Waqidi (w. 207 H) yang menulis buku berjudul At-Tarikh al-Kabir dan Al-Maghazi.
Buku yang pertama dinyatakan hilang, meski isinya masih direkam oleh sejarawan Ath-Thabari (838-923 M). Sejarawan lain yang datang berikutnya adalah seperti Muhamad bin Sa’ad (w. 230 H) dengan At-Tabaqat al-Kubra-nya serta Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (w. 279 H) yang menulis Futuh al-Buldan.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Melalui proses penerjemahan filsafat Aristoteles dan Plato. Muncullah para filosuf muslim yang di kemudian hari menghiasi khazanah ilmu pengetahuan Islam. Di antara filosof yang terkenal pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah adalah:
- Abu Yusuf Ya’qub Ibnu Ishaq Al-Sabah Al-Kindi (811-874 M),
- Abu Nasir al-Farabi (870-950 M),
- Abu Ali Al-Husayn bin Abdullah bin Sina/Ibnu Sina (980-1037 M),
- Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah (1085-1138 M),
- Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al Qaisi (1105–1185 M), dan
- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M). Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang ahli dalam bidang ilmu kedokteran antara lain
- ‘Abu Ali Muhammad al-Hasan bin al-Haitham atau Ibnu Hazen (965-1039 M), ahli mata dengan karya optics dan
- Ibnu Sina (Abu Ali Al-Husayn bin Abdullah bin Sina/Ibnu Sina, 980-1037 M) dengan bukunya Qanun fi Tibb.
Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum Muslimin di antara tokoh kimia yaitu Abu Musa Jabir bin Hayyan Al-Kuffi As-Sufi (721-815 M).
Dalam bidang Matematika dan Sains ilmuwan yang terkenal sampai sekarang adalah :
- Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M), Al Khawarizmi dengan bukunya al-Jabr wa al-Mukabala yang merupakan buku pertama sesungguhnya ilmu pasti yang sistematis. Dari bukunya inilah berasal istilah aljabar dan logaritma dalam matematika. Bahkan kemajuan ilmu matematika yang dicapai pada masa ini telah menyumbangkan pemakaian angka-angka Arab dalam matematika.
- Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Kathir al-Farghani (833-870 M) dan
- Abu Raihan Al-Biruni (973- 1048 M).
Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal antara lain:
- Muhammad bin Ishaq bin Yasar (704-768 M),
- Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Himyari Al Muafiri Al-Basri (Ibnu Hisyam w. 834 M),
- Abu Abdullah Muhammad bin Umar Al-Waqidi (747-823 M),
- Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi (Ibnu Quthaibah, 828-889 M),
- Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari (At-Thabari, 838-923 M).
Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang terkenal :
- Ahmad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Ja’far bin Wahab bin Waddih (al-Yakubi, w. 897 M) terkenal dengan karyanya al-Buldan,
- Abul Qasim Ubaidullah bin Abdullah bin Khurdadzbih (Ibnu Kharzabah, k. 820–912 M) bukunya berjudul al-Mawalik wa al-Mawalik,
- Abu al-Mundhir Hisham bin Muhammed bin al-Sa’ib bin Bishr al-Kalbi (Hisham al-Kalbi, 737-819 M) terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
Dalam bidang Astronomi, tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad bin Ibrahim bin Habib bin Samra bin Jundab al-Fazari (Al Fazari, w. 796 M) dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang pergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim. Selain al-Fazani, ahli astronomi yang bermunculan di antaranya adalah Muhammad bin Musa al
Khawarizmi, al-Farghani, al-Bathiani, al-Biruni, dan Abdurrahman as-Sufi. Para ilmuwan muslim telah banyak meninggalkan warisan ilmu pengetahuan dan peradaban terhadap dunia.Hal tersebut tidak hanya dinikmati umat Islam, namun juga seluruh umat manusia di seluruh dunia. Karya-karya ilmuwan muslim banyak yang diadopsi, diterjemahkan dan diambil manfaatnya untuk kemaslahatan umat manusia.
Perkembangan Peradaban
1) Bidang Sosial Budaya
Di antara kemajuan dalam bidang sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Seni arsitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Al-Qasrul Zahabi, dan Qasrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan lain-lainnya. Al-Qasr Az-Zahabi (Istana Emas) nama ini melambangkan keagungan dan kemegahan istana yang dibangun oleh Daulah Abbasiyah karena sebagian besar sisi istananya dihias dan dilapisi emas. Masyarakat merasakan keamanan dan ketertiban yang terjaga dengan baik. Kehidupan sosial dan masyarakat pada masa itu juga tertata dengan baik.
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra, bahasa dan seni musik. Pada masa ini lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti:
- Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami atau yang dikenal dengan panggilan Abu Nawas (756-814 M),
- Abu Athahiyah (748-826 M),
- Al-Mutanabbi (915-965 M),
- Ibnu Muqaffa (720-756 M) dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga sekarang, seperti kitab Kalilah wa Dimmah.
Tokoh terkenal dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah
- Yunus bin Sulaiman (713-785 M);
- Khalil bin Ahmad (w. 791 M);
- Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh bin Uzlagh al-Farabi (870-950 M) pencipta teori musik Islam; dan
- Ishak bin Ibrahim Al Mausully (w. 850 M) yang telah berhasil memperbaiki musik Arab jahiliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah kitab Alhan wa al-Angham (buku not dan irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan Imam al- Mughanniyin (Raja Penyanyi).
2) Bidang Politik dan Militer
Pemerintah Daulah Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut Diwanul Jundi. Departemen ini yang mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Sistem politik Daulah Abbasiyah terbiang unik, karena daulah ini melibatkan beberapa bangsa dalam pemerintahannya bahkan dalam periode tertentu jabatan Perdana Menteri dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang dikenal wazir dari Barmak, sementara militer lebih banyak melibatkan orang-orang dari Turki. Masing-masing bangsa berusaha untuk bersaing dan berkuasa sehingga memunculkan beberapa periodesasi bangsa yang berbeda dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
3) Bidang Pembangunan dan Tempat Peribadatan
Di antara kota pusat peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyyah yang cukup terkenal adalah Bagdad dan Samarra. Baghdad dirikan olehKhalifah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) terletak di tepi sungai Tigris. Samarra terletak di sebelah timur kota Tigris kurang lebih 60 km dari Bagdad.
Suasana kota sangat nyaman, indah dan teratur. Nama Samarra diberikan oleh Khalifah al-Mansur.
Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai pusat-pusat pendidikan adalah:
- Madrasah (An-Nizamiyah); didirikan oleh Nizam al-Mulk beliau seorang perdana menteri pada tahun 456-486 H. Madrasah banyak terdapat dikota-kota antara lain di Bagdad, Isfahan, Nisabur, Basra, Tabristan, Hara dan Mosul,
- Kuttab; merupakan lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah,
- Masjid; Masjid pada umumnya dijadikan sebagai tempat belajar tingkat tinggi dan takhasus,
- Majelis Munazarah; Merupakan tempat pertemuan para pujangga, ahli fikir dan pada sarjana untuk membahas masalah-masalah ilmiah, majelis ini dapat dijumpai di kota-kota besar lainya,
- Baitul Hikmah; Tempat ini merupakan perpustakan pusat, yang di bangun oleh khalifah Harun al-Rasyid dan di lanjutkan oleh khalifah Al Makmun.
Sistem Pemerintahan Daulah Abbasiyah
- Pimpinan Pemerintahan.
Pemerintahan Daulah Abbasiyah dipimpin oleh seorang Khalifah sebagai pemimpin tertinggi. Dibantu oleh Wizarat yang dijabat oleh Wazir (perdana menteri). Dalam menjalankan pemerintahan, dibentuk Diwanul Kitabah yang dipimpin oleh Raisul Kuttab dan dibantu oleh beberapa sekretaris
- Katibur Rasail (Sekretaris Urusan Pesuratan)
- Katibul Kharraj (Sekretaris Urusan Keuangan)
- Katibul Jundi (Sekretaris Urusan Tentara)
- Katibul Syurthah (Sekretaris Urusan Kepolisian)
- Katibul Qadha (Sekretaris Urusan Kehakiman)
Dalam menjalankan pemerintahannegara, wazir dibantu beberapa Raisud Diwan.
- Diwan Al Kharraj, (Departemen Keuangan)
- Diwan Ad Diyah, (Departemen Kehakiman)
- Diwan Az Zimasu, (Departemen Pengawasan Urusan Negara)
- Diwan Jundi, (Departemen Ketentaraan)
- Diwan Al Mawalywal Ghilman, (Departemen Perburuhan)
- Diwan Al Barid, (Departemen Perhubungan)
- Diwan Ziman an Nafaqaat, (Departemen Pengawasan Keuangan) h. Diwan Ar Rasail, (Departemen Urusan Arsip)
- Diwan An Nadhar Fil Madhalim, (Departemen Pembelaan Rakyat Tertindas) j. Diwan Al Akhdas Wasy Syurthah, (Departemen Keamanan dan Kepolisian) k. Diwan Al ‘Atha’ Wal Hawarij, (Departement Sosial)
- Diwan Al Akhasyam, (Departement Urusan Keluarga)
- Diwan Al Akarah, (Departement Pekerjaan Umum dan Tenaga) 2. Wilayah.
Pada masa Daulah Abbasiyah, tata usaha negara bersifat sentralisasi disebut juga dengan istilah An-Nidhamul Idary Al-Markazy. Wilayah negara dibagi ke dalam beberapa provinsi, yang dinamakan Imarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir atau Hakim. Imarat pada waktu itu ada tiga mazam, yaitu Imarat al-Istikfa, Imarat al-Khassah dan Imarat al-Istilau. Kepada wilayah hanya diberikan hak otonomi terbatas, yang mendapat hak otonomi penuh adalah desa yang disebut Al-Qurra dengan kepala desa yang bergelar Syekh Al-Quryah.
- Tanda Kebesaran dan Kehormatan.
Untuk menunjukan kebesaran khalifah ditetapkanlah tanda kebesaran dan lambang kehormatan. Tanda kebesaran meliputi; Al Burdah, Pakaian kebesaran; Al Khatim yaitu Cincin atau Stempel dan Al-Qadhib atau semacam pedang.Lambang Kehormatan meliputi: Al-Khuthab, yaitu pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah jumat; As-Sikkkah, yaitu pencantuman nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz yaitu lambang khalifah yang harus dipakai oleh tentara, polisi dan para pejabat.
- Angkatan Perang.
Pada masa Daulah Abbasiyah, struktur kemiliteran sudah tertata dibawah Diwan Jundi, terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut. Terdiri dari Al-Jundul Mustarziqah (tentara tetap dan bergaji) yang tinggal di asrama dan Al-Jundul Muthauwi`ah (relawan).Kesatuan tentara pada masa itu terdiri dari Arif (membawahi 10 prajurit), Naqib (membawahi 10 Arif), Qaid (membawahi 10 Naqib) dan Amir (membawahi 10 Qaid).
- Baitul Maal.
Baitul Maal berfungsi sebagai lembaga keuangan yang menopang segala kebutuhan pemerintahan. Baitul maal pada masa tersebut terbagi menjadi tiga diwan, yaitu Diwanul khazaanah yang mengurusi perbendaharaan negara, Diwanul Azra`u yang mengurusi kekayaan negara dan hasil bumi, dan Diwanul Khazainu as Silah yang mengurusi perlengakapan perang
- Kehakiman.
Pada masa Daulah Abbasiyah, kekuasaan politik telah mencampuri urusan urusan kehakiman. Para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman saja pada kitab-kitab mazhab empat atau mazhab-mazhab lain.Organisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah dibentuk jabatan penuntut umum (kejaksaan) di samping telah dibentuk instansi Diwan Qadhil Qudhah. Pada masa Daulah Abbasiyah terdapat tiga badan pengadilan, yaitu: a. Al-Qadha`u dengan hakimnya yang bergelar Al-Qadhi. Tugasnya mengurus perkara-perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya.
- Al-Hisbah dengan hakimnya yang bergelar Al-Muhtasib. Tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera.
- An-Nadhar fil-Madhalim dengan hakimnya yang bergelar shahibul atau qadhil madhalim. Tugasnya menyelesaikan perkara-perkara banding dari kedua pengadilan pertama (Al-Qadhau dan Al-Hisbah).
Kemunduran Daulah Abbasiyah
Banyak faktor yang menyebabkan Khalifah Daulah Abbasiyah menjadi mundur. Disamping kelemahan pada pribadi para Khalifah Daulah Abbasiyah, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Daulah Abbasiyah :
Faktor Internal
- Gaya hidup mewah di kalangan penguasa
Pencapaian luar biasa dalam bidang peradaban dan kebudayaan yang dicapai Daulah Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung glamour, membuat para pengasa banyak yang terlena dan cenderung kurang memperhatikan urusan urusan negara. Hal ini menjadi awal mula melemahnya kepemimpinan dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah
- Persaingan Antar Bangsa
Orang-orang Persia masih merasa tidak puas atas posisi yang didapatkan dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah. Mereka menginginkan sebuah Daulah dengan khalifah dan pegawai dari Persia pula. Bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Setelah Al-Mutawakkil naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyah sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Daulah Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada Daulah Saljuk pada periode keempat.
- Kemerosotan Ekonomi
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Daulah Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Pendapatan yang masuk lebih besar dari pengeluaran, sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Setelah Daulah Abbasiyah memasuki periode kemunduran, pendapatan menurun, sementara pengeluaran semakin meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan tersebut disebabkan oleh semakin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya kerusuhan dalam negeri mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya daulah daulah kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. d. Konflik Keagamaan
Persoalan fundamental dalam kegiatan keagamaan juga ikut berperan dalam menambah beban persoalan pemerintah. Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan zindik atau Ahlussunnah dengan Syi`ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Munculnya perbedaan pendapat yang tidak terselesaikan memicu konflik yang berkepanjangan.
Faktor Eksternal
Selainfaktoryang muncul dari dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, ada juga faktor dari luar yang menyebabkan Daulah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
- Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Perang salib adalah perang yang dilancarkan oleh tentara-tentara Kristen dari berbagai kerajaan di Eropa Barat terhadap umat Islam di Asia Barat dan Mesir. Dikatakan perang salib karena tentara Kristen membawa simbol salib dalam memerangi umat islam di berbagai wilayah.
- Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
Pada sekitar tahun 1257, Hulagu Khan mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Pada tahun 1258, Hulagu Khan menghancurkan tembok ibu kota.Sementara itu Khalifah al
Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke tempat pasukan Mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari kepemimpinan Daulah Abbasiyah di Baghdad.