AKIDAH
Aqidah menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari `aqada-ya`qidu-‘uqdatan wa `aqidatan artinya ikatan atau perjanjian. Kata al-‘aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabtu bi quwwah yang berarti mengikat dengan kuat.
Secara terminologi, ‘aqa’id ialah jamak dari, aqidah (credo), artinya kepercayaan. Yaitu sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya, dan yang menjadi kepercayaan/keyakinan yang bersih dari bimbang dan ragu.
Menurut Hasan al-Banna ‘aqa’id adalah:
Artinya : Beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy mengatakan akidah adalah:
Artinya : Yaitu sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati dan diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.
Sedangkan ulama‟ fiqh mendefinisikan akidah sebagai berikut: Akidah ialah sesuatu yang diyakini dan dipegang teguh, sukar sekali untuk diubah. Ia beriman berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan kenyataan, seperti beriman kepada Allah Swt. para Malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, dan Rasul-rasul Allah, adanya kadar baik dan buruk, dan adanya hari akhir.
Dari dua pengertian antara akidah dan pendidikan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan akidah adalah suatu proses usaha yang berupa pengajaran, bimbingan, pengarahan, pembinaan kepada manusia agar nantinya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan akidah Islam yang telah diyakini secara menyeluruh, mengembangkan dan memantapkan kemampuannya dalam mengenal Allah, serta menjadikan akidah Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya dalam berbagai kehidupan baik pribadi, keluarga, maupun kehidupan masyarakat demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata.
Hal ini sesuai dengan karakteristik ajaran Islam sendiri yaitu, mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allahlah yang mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah yang berhak ditaati dan dimintai pertolongan-Nya.
TINGKATAN-TINGKATAN AKIDAH
Dilihat dari kuat atau tidaknya aqidah dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu syubhat, yakin, ‘ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Tingkatan ini terutama didasarkan pada kurang lebih besarnya potensi dan kemampuan manusia yang dikembangkan dalam menyerap keyakinan tersebut. Semakin sederhana potensi yang dikembangkan, semakin rendah keimanan seseorang, begitu pula sebaliknya. Keempat tingkat kepercayaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Tingkat keragu-raguan (taqlid), yaitu orang yang beriman hanya karena mengikutinya, tidak memiliki pendapat sendiri. Namun, dalam hal keyakinan individu, seseorang harus memiliki iman yang lengkap, dan taqlid (keyakinan berdasarkan pernyataan atau keyakinan orang lain) tidak dibenarkan.
- Tingkat kepercayaan, yaitu orang yang beriman atau sesuatu dan mampu menunjukkan bukti, alasan, atau dalil, tetapi belum dapat menemukan atau merasakan hubungan yang kuat dan mendalam antara objek (madlul) dengan data atau bukti tersebut. (dalil) yang mereka dapatkan. Sehingga level ini masih bisa dikelabui oleh keberatan-keberatan yang rasional dan mendalam. Atau keyakinan yang berdasarkan pengetahuan saja.
- Tingkat ‘ain al-yaqin, yakni orang yang berakidah atau meyakini sesuatu secara rasional, ilmiah, dan mendalam mampu membuktikan hubungan antara obyek (madlul) dengan data atau bukti (dalil). Tingkat ini tidak terkecoh dengan sanggahan-sanggahan yang bersifat rasional dan ilmiah. Atau berkeyakinan yang didasarkan kepada penglihatan rohani yang disebut ‘ain al-bas}irah (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat).
- Tingkat haqq al-yaqin, yakni orang yang berakidah atau meyakini sesuatu, disamping mampu membuktikan hubungan antara obyek (madlul) dengan bukti atau data (dalil) secara rasional, ilmiah, dan mendalam, juga mampu menemukan dan merasakannya melalui pengalaman-pengalaman dalam pengamalan ajaran agama. Atau berkeyakinan yang didasarkan kepada pengetahuan dan penglihatan rohani. Orang yang telah memiliki akidah pada tingkat ini tidak akan tergoyahkan dari sisi manapun, ia akan berani berbeda dengan orang lain sekalipun hanya seorang diri, ia akan berani mati untuk membela akidah itu sekalipun tidak seorangpun yang mendukung atau menemaninya.
Dalam akidah Islam, keyakinan merupakan prasyarat dari keimanan seseorang. Orang yang beriman haruslah orang yang yakin, dan keyakinan yang haruslah mencapai tingkat paling tinggi, yang disebut dengan i’tiqad jazim (keyakinan utuh). Hal ini terkait dengan definisi iman, yaitu pembenaran dalam hati, pengakuan dengan lidah, dan pengamalan dengan anggota badan.
Adanya ketiga unsur ini merupakan bukti betapa keyakinan haruslah inheren (melekat) dalam iman. Keyakinan itu tempatnya di dalam hati, diketahui melalui manifestasinya, yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan dan tindakan. Adanya pembenaran, ungkapan, dan tindakan sebagai pilar dari iman, merupakan gambaran dari keyakinan utuh tersebut. Keyakinan harus seperti ini, tidak boleh dihinggapi purbasangka (zann), apalagi keraguan (syakk).