Daftar Isi
Pengertian Majlis Syuro
Majlis Syura menurut bahasa artinya tempat musyawarah, sedangkan menurut istilah ialah lembaga permusyawaratan rakyat. Atau dengan pengertian lembaga permusyawaratan atau badan yang ditugasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui musyawarah. Dengan demikian majlis syura ialah suatu lembaga negara yang bertugas memusyawarahkan kepentingan rakyat. Di negara kita dikenal dengan lembaga Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada masa Rasulullah, belum ada lembaga perwakilan seperti yang ada di negara- negara sekarang. Tetapi praktiknya telah beliau kerjakan. Saat itu musyawarah dilakukan di mesjid atau di tempat lain yang mereka kehendaki, Berbeda dengan zaman sekarang, manusia semakin banyak jumlahnya, memiliki keinginan politik yang beragam, sehingga memerlukan suatu lembaga resmi, tempat yang resmi dan tata tertib musyawarah atau sidang yang detil agar dapat memenuhi tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
Secara Bahasa, ahlul halli wal aqdi artinya orang yang berhak melepaskan (halli) dan mengikat (aqdi). Dikatakan “melepaskan” karena merekalah yang menentukan untuk melepaskan atau tidak memilih orang-orang yang tidak disepakati. Dikatakan “mengikat” karena kesepakatan mereka bisa mengikat orang-orang yang memenuhi syarat dipilih untuk menduduki jabatan tertentu.
Sedangkan secara istilah, seperti yang dikatakan Al-Mawardi, arti ahlul halli wal aqdi adalah sekelompok orang yang melakukan musyawarah untuk memutuskan masalah yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, ahlul halli wal aqdi dapat dikatakan sebagai wakil masyarakat yang bertugas untuk mencari solusi atas berbagai persoalan mereka demi kemaslahatan hidupnya.
Mengingat akan tugas yang demikian, maka kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di masyarakat, terutama karena pengetahuannya yang mendalam dan kepeduliannya yang besar terhadap kepentingan masyarakat.
Ahlul Halli Wal’aqdi ialah anggota Majlis Syura sebagai wakil rakyat. Ahlul Halli Wal’aqdi di negara kita adalah para anggota legislatif. Baik di tingkat pusat di DPR/MPR maupun di tingkat daerah yaitu DPRD. Meskipun ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa antara anggota legislatif dengan ahlul halli wal aqdi ini tidak sepenuhnya sama.
Para ulama diantaranya Imam Fahruddin Ar Razi menyatakan bahwa anggota Ahlul Halli Wal’aqdi adalah para alim ulama dan kaum cendikiawan yang dipilih langsung oleh mereka. Dengan demikian, Ahlul Halli Wal’aqdi harus mencakup dua aspek penting, yaitu: mereka harus terdiri dari para ilmuwan dan alim ulama serta mendapat kepercayaan dari rakyat.
Syarat-syarat menjadi Anggota Majlis Syura
Anggota Majlis Syura merupakan orang-orang yang memiliki hak untuk mengangkat khalifah atas mandat dari rakyat. Al-Mawardi menyebut mereka sebagai ahlul-ikhtiyar (orang yang mempunyai keahlian melakukan daya-upaya). Oleh sebab itu, untuk dapat menjadi anggota Majlis Syura haruslah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
a. Keadilan yang memenuhi segala persyaratannya
Memiliki ilmu pengetahuan tentang orang yang berhak menjadi khalifah dan persyaratan-persyaratannya, serta untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-kasus hukum yang harus dipecahkan.
Memiliki kecerdasan dan kearifan yang menyebabkan ia mampu memilih khalifah yang paling maslahat, mampu, dan tahu tentang kebijakan-kabijakan yang membawa kemaslahatan bagi umat.
b. Hak dan Kewajiban Anggota Majlis Syura
Anggota Majlis Syura, sebagaimana layaknya seorang wakil rakyat memiliki hak dan kewajiban. Menurut Djazuli berdasarkan kajiannya atas berbagai pendapat ulama, di antaranya adalah Muhammad Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Maududi, adalah sebagai berikut:
- Hak-hak anggota majlis syura :
- Memilih dan membaiat khalifah terpilih
- Mengarahkan kehidupan masyarakat pada kemaslahatan
- Membuat undang-undang dalam berbagai hal yang tidak diatur secara tegas dalam Alquran dan hadis
- Memberi pertimbangan kepada khalifah dalam menentukan kebijakannya
- Mengawasi jalannya pemerintahan
- Kewajiban anggota majlis syura :
- Memberikan kekuasaan kepada khalifah
- Mempertahankan negara dan undang-undang sesuai syariat Islam
- Melaksanakan syariat Islam (sesuai Alquran, hadis, ijma’, qiyas, dan lain-lain)
- Mengatur dan menertibkan kehidupan masyarakat
- Menegakkan keadilan
Syarat Pengangkatan Pemimpin oleh majlis Syura
Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan amanah yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Rasulullah bersabda bahwa pada hakikatnya setiap individu adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Maka tugas membangun pemerintahan yang baik bukan hanya dilakukan penguasa, tetapi rakyat juga ikut menentukan arah pemerintahan tersebut.
Menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam persoalan pengangkatan pemimpin adalah firman Allah sebagai berikut:
artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa:58)
Berdasarkan ayat tersebut, ada 5 syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai berikut :
- Pemberian jabatan (amanah) kepada orang terbaik (ahlinya)
Memilih seorang pemimpin harus diperhatikan apakah dia dapat dipercaya dan memahami akan tugas dan fungsinya. Jika memilih seseorang disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan, hubungan saudara, kesamaan golongan, dan kepentingan politis seperti bagi-bagi “kue kekuasaan”, suap, hubungan kesukuan dan lain sebagainya, maka hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Allah, Rasulullah, dan masyarakat luas.
- Membangun hukum yang adil
Berlaku adil merupakan perintah Allah, keadilan mencakup semua aspek kehidupan baik sosial, politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Keadilan harus ditegakkan di dalam setiap aspek kehidupan, dari mulai penegakan hukum, pembagian harta seperti ghanimah, zakat, fa’i dan kekayaan negara lainnya yang harus di salurkan dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu Allah SWT memberikan balasan yang cukup besar bagi pemimpin yang adil, Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari kiamat nanti dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya dan salah satu golongan dari ketujuh golongan itu adalah pemimpin yang adil.
- Dukungan dan kepercayaan dari masyarakat (legitimasi)
Keberhasilan suatu kepemimpinan bukan hanya tugas para penguasa, masyarakat pun ikut berperan aktif dalam mewujudkan hal tersebut. Islam sangat menyadari seorang pemimpin tidak akan mampu melakukan apapun tanpa adanya dukungan dari masyarakatnya. Oleh karena itu dalam Islam masyarakat harus memberikan ketaatan dan kepercayaannya kepada pemerintah sehingga menghadirkan pemerintahan yang legitimate. Allah berfirman :
artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa:59)
Karakter kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan yang merepresentasikan kedaulatan rakyat. Mandat kepemimpinan dalam Islam tidak ditentukan oleh Tuhan namun dipilih oleh rakyat. Kedaulatan hakiki memang milik Tuhan namun dalam konteks kehidupannya, manusia telah diberi hak oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Tentu saja kekhalifahan yang dimaksud adalah kekhalifahan yang dapat ditemukan tautannya dengan Allah dan Rasul-Nya sehingga layak untuk ditaati, sebagaimana tercermin dalam bunyi ayat 59 surah An-Nisa’ di atas.
- Ketaatan tidak boleh dalam kemaksiatan
Terkadang ada polemik di masyarakat tentang apakah masih ada kewajiban untuk mematuhi pemimpin yang mendurhakai Allah atau tidak. Pemimpin yang telah dipilih dan menurut Undang-undang dinilai telah memenuhi syarat kepemimpinan untuk melaksanakan amanat rakyat. Apabila pemimpin melakukan penyimpangan dan tidak mengindahkan nasihat dan peringatan serta tetap melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, maka tidak boleh menyetujui perbuatannya, apalagi mentaatinya. Namun sebagai warga negara, tetap harus mengakui eksistensi pemerintahannya.
- Konstitusi yang berlandaskan alquran dan as-sunah
Salah satu cara untuk menghadirkan kepemimpinan yang sukses dan baik menurut alQur’an adalah mengembalikan segala urusan berdasarkan Alquran dan Hadis. Allah berfirman :
Artinya : “jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Rasul (sunnahnya), Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ” (QS. An-Nisa’:59)
Artinya al-Qur’an dan sunnah harus menjadi rujukan utama dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi didalam negara, di samping berbagai rujukan lainnya yang secara substantif tidak bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Menurut pendapat Ibnu Thaimiyyah, tugas utama negara ada dua, Pertama, menegakkan syariat, dan kedua, menciptakan sarana untuk menggapai tujuan tersebut.
Negara harus menjadi sarana yang baik bagi makhluk Allah SWT untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya dimuka bumi. Ada beberapa alasan penting yang membuat negara dan pemerintahan memiliki kedudukan yang penting dalam Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Yaitu:
- Al-Qur’an memiliki seperangkat hukum yang pelaksanannya membutuhkan institusi negara dan pemerintahan.
- Al-Quran meletakkan landasan yang kokoh baik dalam aspek akidah, syariah, dan akhlak yang berfungsi sebagai bingkai dan menjadi jalan hidup kaum muslimin. Pelaksanaan dan pengawasan ketiga prinsip tersebut tidak pelak membutuhkan intervensi dan peran negara.
- Adanya ucapan dan perbuatan nabi yang dipandang sebagai bentuk pelaksanaan tugas-tugas negara dan pemerintahan. Nabi mengangkat gubernur, hakim, panglima perang, mengirim pasukan, menarik zakat dan pajak (fiskal), mengatur pembelanjaan dan keuangan negara (moneter), menegakkan hudud, mengirim duta, dan melakukan perjanjian dengan negara lain.
Selain itu, hal ikhwal kepemimpinan (khilafah) telah menjadi bagian kajian dan pembahasan para ahli fikih di dalam kitab-kitab mereka sepanjang sejarah. Fakta tesebut menunjukkan bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama karena agama merupakan fitrah. Oleh karena itu nilai-nilai dan tujuan agama (Islam) harus diterapkan dalam setiap kebijakan negara termasuk penerapan konstitusi. Sebagai negara beragama, Indonesia memiliki konstitusi (UUD 1945) yang dijiwai oleh nilai-nilai agama, termasuk Islam.
Sikap Pemerintahan Islam Terhadap Non Muslim
Non Muslim yang menjadi warga negara pemerintahan Islam akan mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslim. Hak mereka sebagai warga negara dijamin penuh oleh negara Islam. Namun, mereka juga harus menunaikan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh konstitusi dan undang-undang negara. Adapun sikap pemerintahan Islam terhadap non Muslim dapat dijelaskan melalui empat kategori sebagai berikut :
- Dzimmi
Non Muslim (kafir) dzimmi adalah kelompok yang mendapat jaminan Allah dalam hak dan hukum negara. Kelompok ini mendapat perlakuan hukum dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Baik hak politik, sosial, ekonomi, ketentaraan, pendidikan, bebas melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya, dan hak-hak lain sebagaimana layaknya warga negara.
- Musta’man
Non Muslim Musta’man adalah kelompok agama lain yang meminta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Terhadap kelompok ini tidak diberlakukan hak dan hokum negara. Adapun diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala macam bentuk ancaman selama mereka masih dalam perlindungan pemerintahan Islam.
- Mu’ahadah
Non Muslim Mu’ahadah adalah kelompok agama lain yang melakukan perjanjian damai dan menjalin hubungan persahabatan antar negara. Baik disertai dengan perjanjian akan bantu-membantu, saling membela, ataupun tidak.
- Harbi
Non Muslim Harbi adalah kelompok agama lain yang bersikap memusuhi, mengganggu keamanan dan ketenteraman, bersikap zalim, suka menghasut atau melakukan provokasi, membuat fitnah dan kekacauan, tidak mengamalkan agamanya, Terhadap kelompok ini pemerintah dibenarkan untuk melawan, mengambil tindakan tegas dan memeranginya. Hal ini dilakukan demi mencegah dan menghentikan sikap mereka yang bersifat destruktif.