Daftar Isi
Pengertian Khilafah
Khilafah berasal dari bahasa arab khalafa, yakhlifu, khilafatan yang artinya menggantikan. Dalam konteks sejarah Islam, khilafah adalah proses menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW, dalam menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan dunia. Pada masa sekarang istilah khilafah sama artinya dengan suksesi yang juga berarti proses pergantian kepemimpinan.
Sedangkan menurut istilah khilafah berarti pemerintahan yang diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah bersifat umum, meliputi kepemimpinan yang mengurusi bidang keagamaan dan kenegaraan sebagai pengganti Rasulullah. Khilafah disebut juga dengan Imamah atau Imarah. Pemegang kekuasaan khilafah disebut Khalifah, pemegang kekuasaan Imamah disebut Imam, dan pemegang kekuasaan Imarah disebut Amir.
Kalau dibahas lebih lanjut tentang istilah Khilafah, Imamah, dan Imarah terdapat berbagai versi dan sudut pandang. Istilah khilafah yang semula muncul pertama kali pada masa Abu Bakar sebetulnya lebih karena posisi beliau yang merupakan pengganti (khalifah) Rasulullah shingga masyarakat menyebutnya dengan panggilan “khalifah al-Rasul” yang berfungsi melanjutkan tugas Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik dan keagamaan, bukan sebagai Rasul.
Pada masa Umar bin Khatab, gelar Khalifah malah digantinya denga Amir (Amir al-Mu’minin). Sedangkan pada masa pemerintahan Abbasiyah, gelar Khalifah tidak sekedar bermakna pengganti Rasul tetapi pengganti Allah di muka bumi (Khalifatullah fil ardh). Adalah Al-Manshur, khalifah Abbasiyah ke 2, yang mula-mula menyebut diri sebagai khalifatullah fil ardh ini.
Sedangkan gelar Amir pada masa itu digunakan untuk jabatan seorang kepala daerah atau gubernur. Adapun gelar Imam dalam system imamah lebih sering digunakan oleh kaum Syi’ah untuk menyebut jabatan seorang kepala negara. Sama artinya dengan gelar Khalifah yang sering digunakan oleh kaum Sunni. Perbedaannya, bagi kaum Syi’ah gelar Imam dan Imamah itu temasuk dalam prinsip ajaran agama. Seorang imam dipandang sebagai orang yang ma’sum (terjaga dari dosa).
Bagi kaum Sunni, seperti pendapat al-Mawardi dan Abdul Qadir Audah bahwa khilafah dan imamah secara umum memiliki arti yang sama yaitu system kepemimpinan Islam untuk menggantikan tugas-tugas Rasulullah SAW dalam menjaga agama serta mengatur urusan duniawi umat Islam. Allah berfirman dalam QS. An Nur: 55
Sejarah timbulnya istilah khilafah bermula sejak terpilihnya Abu Bakar as-Shidiq (573-634 M) sebagai pemimpin umat Islam yang menggantikan Nabi SAW setelah beliau wafat. Kemudian berturut-turut terpilih Umar bin khatab(581-644 M), Usman bin Affan (576-656 M) dan Ali bin Abi Thalib (603-661M).
Selanjutnya bersambung pada generasi Dinasti Umayyah di Damascus (41-133H/661-750 M):14 khalifah, Dinasti Abbasiyah di Baqdad (132-656H/750-1258 M): 37 khalifah, Dinasti Umayyah di Spanyol (139-423H/756-1031 M):18 khalifah, Dinasti Fatimiyah di Mesir(297-567H/909-1171 M):14 khalifah, Dinasti Turki Usmani (kerajaan Ottoman) di Istanbul(1300-1922 M):39 khalifah, Kerajaan Safawi di Persia(1501-1786 M):18 syah/ raja, Kerajaan Mogul di India (1526-1858 M):15 raja dan Dinasti-dinasti kecil lainnya.
Dinasti-dinasti di atas memakai gelar khalifah. Tetapi berbeda pelaksanaannya dengan khulafa ar-rasyidin. Jika khulafa ar-rasyidin dipilih secara musyawarah, maka dinasti-dinasti tersebut menerapkan tradisi pengangkatan raja secara turun temurun.
Sistem pemerintahan khilafah berakhir di Turki sejak Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938 M). Beliau menghapus sistem pemerintahan ini pada tanggal 3 maret 1924. Umat Islam pernah berusaha menghidupkan kembali khilafah melalui muktamar khilafah di Cairo (1926 M) dan Kongres Khilafah di Mekkah (1928 M). Di India pun pernah timbul gerakan khilafah. Oganisasi-organisasi Islam di Indonesia pun pernah membentuk komite khilafah (1926 M) yang berpusat di Surabaya untuk tujuan yang sama.
Namun perjuangan umat Islam Indonesia tidak hanya melalui upaya mewujudkan khilafah secara legal formal. Melainkan ada hal yang lebih penting yaitu upaya menegakkan nilai-nilai luhur Islam di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Peristiwa penghapusan tujuh kata yang berbunyi …dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang semula tercantum pada pada alinea keempat Piagam Jakarta ( kelak menjadi Mukaddimah UUD 1945) pada tanggal
18 Agustus 1945 bukanlah kekalahan umat Islam untuk menegakkan Khilafah. Tetapi itu justru menunjukkan kualitas sikap para pemimpin Islam seperti KH. Wahid Hasyim yang mampu mengutamakan kepentingan umum seluruh bangsa Indonesia daripada kelompok agamanya sendiri. Apalagi secara substantif, isi pembukaan UUD 1945 itu tidak berbeda dengan ketika masih bernama Piagam Jakarta. Pembukaan UUD 1945 sangat terbuka untuk dimaknai sesuai keyakinan kita sebagai umat Islam. Karena naskah ini memang lahir dari pemikiran para tokoh Muslim di samping tokoh-tokoh lainnya.
Tujuan Khilafah
Secara umum Khilafah mempunyai tujuan untuk memelihara agama Islam dan mengatur terselenggaranya urusan umat manusia agar tercapai kesejahteraan dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Allah SWT. Adapun tujuan khilafah secara spesifik adalah:
- Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.
- Untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin dengan aparat yang bersih dan berwibawa
- Untuk menjaga stabilitas negara dan kehormatan agama.
- Untuk membentuk suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan berkeadilan, serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
Khilafah sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan di dunia, tidak bisa dilepaskan dengan peran Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin yang memiliki misi besar untuk mengarahkan semua sisi kehidupan dengan berbagaipanduan yang sangat detil dan konprehensif. Bahkan konsep tauhid yang tampak sebagai urusan akidah, sebetulnya juga tidak bisa dilepaskan dengan politik.
Konsep tauhid yang mengajarkan umat Islam untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah, sesungguhnya sekaligus mengajarkan tentang kesetaraan manusia. Dengan demikian Islam menolak secara tegas adanya perbudakan sesama manusia dengan berbagai macamnya. Oleh karena itu Rasulullah selalu mengakhiri setiap surat yang dikirim kepada Ahli Kitab ayat mulia dari surah Ali-Imran sebagai berikut :
“Katakanlah: «Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah». Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: «Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).» (QS. Ali-Imran:64)
Dasar-dasar Khilafah
Menurut Sulaiman Rasjid, apabila diperhatikan dengan seksama, dapat diketahui dengan jelas bahwa khilafah atau pemerintahan yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
• Kejujuran, keikhlasan, dan tanggung jawab.
Pemerintahan harus dijalankan dengan tulus demi tanggung jawab mengemban amanat rakyat dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan warna kulit. Hal ini dapat dilakukan karena seorang pemimpin berpedoman pada firman Allah yang di antaranya terdapat dalam surah Al-Hujurat, 13 sebagai berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat:13)
• Keadilan.
Firman Allah dalam surah An-Nahl, 90 :
Hendaknya keadilan ditegakkan terhadap seluruh rakyat dalam segala urusannya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl:90)
• Tauhid (mengesakan Allah).
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah, 163 :
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:163)
Tauhid merupakan sikap tunduk dan patuh secara total hanya kepada Allah. Tak ada sesuatupun yang layak dipatuhi selain Allah. Konsekuensi dari sikap bertauhid ini akan membuat tiap-tiap orang, termasuk para pemimpin, merasa merdeka dan menghargai kemerdekaan orang lain, terhindar dari kesewenang-wenangan, dan pada akhirnya dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang egaliter serta terhindar dari otoritarianisme.
• Kedaulatan rakyat.
Masalah kedaulatan rakyat ini dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri (para wakil rakyat atau pemegang pemerintahan). Firman Allah dalam surah An-Nisa, 58-59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa:59)
Sulaiman Rasjid dengan mngutip pendapat ahli tafsir Imama Muhammad Fakhruddin Razi mengatakan bahwa yang dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah para ulama, ilmuwan, dan para pemimpin yang ditaati rakyat. Mereka inilah representasi dari kedaulatan rakyat.
Sedangkan untuk mengelola kedaulatan rakyat adalah melalui usaha menampung berbagai aspirasi mereka untuk kemudian dimusyawarahkan agar dapat dicapai kata mufakat demi kemaslahatan bersama. Perintah untuk melakukan musyawarah ini misalnya dapat dilihat pada QS. Asy-Syura(42): 38 sebagai berikut :
“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka….;” (QS. Asy-Syura:38)
Hukum Membentuk Khilafah
Berdasarkan pendapat yang diikuti mayoritas umat Islam (mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah dengan beberapa alasan sebagai berikut :
• Ijma’ sahabat.
Ketika Rasulullah wafat, saat itu juga terdengar di kalangan para sahabat yang membicarakan masalah pengganti beliau. Bahkan pembicaraan itu sempat mengarah ke perselisihan di antara kaum Anshar dan Muhajirin. Dalam suasana demikian maka disepakati untuk dilaksanakan musyawarah antara perwakilan dari kedua kaum tersebut. Sementara sebagian lainnya tetap mengurus jenazah Rasulullah. Adapun hasil musyawarah akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah/pengganti Rasulullah.
• Demi menyempurnakan kewajiban.
Khilafah harus didirikan demi menjamin kelancaran atau kesempurnaan dalam menunaikan kewajiban sebagai warga negara. Misalnya dalam hal pemenuhan kewajiban sebagai umat beragama, menjaga keamanan dan ketertiban, menjamin kesejahteraan bersama, menegakkan keadilan, dan lain sebagainya. Semua urusan ini tidak bisa sepenuhnya dibebaskan untuk diurus oleh perseorangan tetapi perlu ada pihak yang berwenang mengelolanya. Sudah barang tentu hal ini atas mandat dari rakyat.
• Memenuhi janji Allah.
Allah berjanji akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai penguasa di muka bumi. Setelah sebelumnya mereka mengalami ketakutan, kegelisahan, dan penderitaan akibat kezaliman. Tetapi mereka tetap berjuang menegakkan kebenaran
dan keadilan. Inilah yang memungkinkan terbukanya peluang untuk memenuhi janji Allah yang akan menjadikan kita sebagai penguasa di muka bumi. Mengemban amanat kekhilafahan atau pemerintahan demi kehidupan yang sejahtera, aman, sentausa dan tetap dalam ketundukan terhadap Allah semata.
Allah SWT. Berfirman dalam surah An-nur, 55 sebagai berikut :
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-nur : 55)
Hikmah Khilafah
Khilafah yang ditegakkan dengan tujuan yang jelas dan dasar-dasar yang berpihak pada kepentingn dan kesejahteraan bersama pada akhirnya akan membuat masyarakatnya hidup tenang, nyaman, dan aman di satu pihak. Di pihak lain justru akan membuat Khilafah semakin kuat dan stabil karena adanya kepercayaan dari masyarakat luas.
Upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan disertai pemenuhan aspirasi rakyat dapat melahirkan kesadaran bersama untuk mencapai persatuan dan kesatuan dengan tetap menjaga keragaman, baik suku, agama, dan ras, sebagai anugerah Allah.
Syarat-syarat Khalifah
Untuk menjadi khalifah, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
• Berpengetahuan luas.
Seorang khalifah harus memiliki pengetahuan luas dalam arti yang sebenarnya. Tidak cukup hanya memiliki latar belakang pendidikan akademik tinggi, karena ia akan melaksanakan atau menerapkan hukum Allah dan berbagai peraturan-Nya terhadap kaum Muslim dan Non Muslim atau terhadap masyarakat yang majmuk latar belakang sosial, budaya, dan agamanya.
• Adil dalam arti luas.
Seorang khalifah mampu menjalankan segala kewajiban dan menjauhi larangan serta menjaga kehormatan dirinya. Khalifah juga wajib mengawasi segala hukum dan peraturan yang dijalankan oleh para wakil dan bawahannya
• Kompeten (Kifayah)
Seorang khalifah harus memiliki kompetensi berupa tanggung jawab, teguh, kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan, memajukan negara, dan agama. Sanggup menjaga keamanan semuanya dari ancaman musuh.
• Sehat jasmani-rohani.
Seorang khalifah harus memiliki pancaindera dan anggota tubuh lainnya yang bebas dari gangguan yang bisa mengurangi kemampuan berpikir dan kekuatan jasmani atau tenaganya.
Adapun sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa para imam itu dari bangsa Quraisy atau urusan khalifah itu adalah hak bangsa Quraisy ditafsirkan oleh para ulama sebagai hal yang masuk akal setelah memperhatikan karakter bangsa Quraisy yang pemberani, kuat, teguh pendirian, rasa persatuan yang kuat, dan cakap menjalankan pemerintahan.
Jadi yang dijadikan syarat oleh Rasulullah sebetulnya bukan semata-mata karena sukunya tetapi lebih kepada keutamaan sifat-sifatnya tersebut. Demikian seperti yang dijelaskan Sulaiman Rasjid terkait syarat kompetensi bagi seorang khalifah, dari buku sejarah Itmamul-Wafa karangan Muhammad Al-Hudari dan dari kitab Mukaddimah karya Ibnu Khaldun.
Sedangkan terkait syarat harus berpengetahuan luas dan kesehatan dapat dilihatdalam firman Allah sebagai berikut :
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:247)
Cara Pengangkatan Khalifah
Berdasarkan catatan sejarah Khulafah al-Rasyidin, terdapat beberapa contoh pengangkatan khalifah yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Dipilih langsung oleh umat Islam,
Misalnya pada saat pemilihan khalifah pertama, yakni khalifah Abu Bakar Shidiq
di balai sidang Bani Sa’idah. Pertemuan itu mula-mula diadakan oleh kaum Anshar, baru kemudian dihadiri tiga tokoh utama yang mewakili kaum Muhajirin yaitu Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khatab, dan Abu Ubaidah.
• Diusulkan oleh khalifah yang sedang menjabat,
Misalnya pengangkatan khalifah kedua, yakni khalifah Umar bin Khatab yang diusulkan oleh Abu Bakar Shidiq. Meskipun sebenarnya Abu Bakar telah sering bermusyawarah dengan para sahabat lainnya mengenai langkahnya itu. Di antaranya dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Thulhah bin Ubaidillah, Selanjutnya atas usul Thulhah, Abu Bakar mengundang orang banyak untuk dimintai pendapatnya dan ternyata mereka menjawab dengan serentak, “Sami’na wa atha’na” (kami dengar dan kami patuhi) yang maksudnya sebagai pernyataan dukungan terhadap langkah yang dilakukan Abu Bakar.
• Dipilih melalui perwakilan (Ahlul Halli Wai ‘aqdi).
Misalnya pemilihan khalifah Usman bin Affan dari antara enam orang yang sebelumnya dipersilahkan Umar bin Khatab untuk membicarakan masalah pmilihan calon penggantinya. Enam orang tersebut adalah : Ali Bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, dan Thulhah bin Ubaidillah. Di antara enam tokoh ini akhirnya tersisa dua yaitu Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan karena yang lainnya mengundurkan diri. Selanjutnya mereka menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk memimpin jalannya pemilihan dan memberinya tempo guna melakukan pertimbangan sebaik-baiknya. Saat inilah Abdurrahman bin Auf meminta lagi pendapat kepada lebih banyak tokoh dan penduduk Madinah. Pada akhirnya pilihan jatuh terhadap Utsman bin Affan.
• Dipilih oleh perwakilan sebagian besar umat Islam,
Misalnya terjadi pada saat pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan oleh penduduk ibukota Madinah, didukung oleh tiga pasukan dari Mesir, Basrah, dan Kufah. Tetapi di tengah perjalanan, sebagian pasukan dari mesir tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Sedangkan pasukan Basrah dan Kufah tetap terus melaju ke tempat pembaiatan Ali bin Abi Thalib. Dalam pasukan Basrah dan Kufah terdapat kalangan sahabat Nabi, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar. Mereka turut mengangkat baiat terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib meskipun acara baiat yang dilakukan penduduk Madinah telah selesai.
Keempat sifat pemilihan dan pengangkatan khalifah itu menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai aspirasi dan kehendak rakyat. Berbagai ragam aspirasi rakyat harus dipertimbangan dengan matang melalui jalan musyawarah untuk menemukan mufakat agar keputusan yang diambil relatif dapat memuaskan semua pihak.
Di Indonesia sifat pengangkatan pemimpin (presiden) pernah dilakukan dalam 2 bentuk yaitu:
- Pemilihan tidak langsung; yakni pemilihan melalui perwakilan Ahlul Halli Wal’aqdi (DPR/MPR) yang berhak menentukan dan memutuskan segala hal yang menyangkut kehidupan rakyat, termasuk umat Islam.
- Pemilihan secara langsung; yakni suatu pemilihan yang dilakukan langsung oleh seluruh rakyat. Setiap warga negara dan warga masyarakat berhak memilih langsung dan memberikan dukungannya sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Pemilihan langsung ini pertama kali dilakukan pada tahun 2004 setelah berpuluh-puluh tahun lamanya dilakukan melalui lembaga perwakilan sejak 18 Agustus 1945. Yakni pemilihan Soekarno menjadi Presiden pertama Indonesia melalui musyawarah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
- Kedua bentuk pemilihan tersebut relatif bersesuaian dengan bentuk pemilihan khalifah seperti contoh dalam sejarah pemilihan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Setidaknya dari segi sifatnya yang langsung dan tak langsung
Respon (2)