Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
Berabad-abad silam Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an mampu membumi dan berbicara langsung dengan masyarakat Anshar dan Mahajirin. Interaksi Al-Qur’an dengan manusia tidak memberikan sekat atau pembatas seakan Al-Qur’an menjadi teman curhat setiap persoalan yang dihadapi manusia.
Al-Qur’an pada masa Nabi Saw. tidaklah sama dengan Al-Qur’an pasca-wafat beliau. Ada banyak perbedaan yang ditemukan, bahkan ditelaah oleh peminat studi Al-Qur’an di Barat atau yang lebih terkenal dengan sebutan “orientalis”.
Secara sederhana, saat penghafal Al-Qur’an banyak berguguran di medan perang, Umar bin Khathab melakukan sesuatu yang belum pernah diperintahkan oleh Nabi Saw., yakni penulisan Al-Qur’an. Bahkan, pemberian titik dan harkat juga dilakukan beberapa tahun setelah beliau wafat.
Sekian perbedaan Al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks mati yang harus disikapi secara terbuka, sehingga Al-Qur’an terus bermetamorfosis.
Hal ini masih dalam batas penulisan, kodifikasi, dan pemberian titik, belum merambah kepada pemahaman teks (nash) yang disikapi secara multi-tafsir.
Perkembangan Al-Qur’an beriringan dengan perkembangan tafsir. Berjuta-juta karya tafsir yang lahir dari masa ke masa mampu memberikan kontribusi positif dalam pembumian Al-Qur’an, baik di penjuru negeri maupun beberapa kota yang berbeda.
Pesan-pesan Al-Qur’an selalu relevan dengan konteks dimana Al-Qur’an dipahami dan disampaikan, sehingga Al-Qur’an sering disebut dalam sebuah adagium: Shalih li kulli zaman wa makan (relevan untuk segala waktu dan tempat).
Secara historis, tafsir Al-Qur’an pada mulanya menggunakan sumber bil ma’tsur, yaitu tafsir ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, dan ayat dengan ijtihad sahabat.
Kemudian, tafsir mulai memperioritaskan pada ijtihad ulama atau mufasir sendiri yang biasanya disebut “tafsir bil ra’yi“. Apalagi di era kontemporer hampir sulit ditemukan tafsir yang memprioritaskan pada riwayat. Sebab, tafsir dengan akal lebih terkesan relevan dibandingkan tafsir dengan riwayat.
Pemikiran (ra’yu) terus berkembang seiring pergantian waktu. Buktinya, di era mutakhir lahir tafsir tematik yang fokus kajiannya pada tema atau surah tertentu sehingga tafsir terkesan praktis dan tidak bertele-tele seperti menu makanan yang tersedia secara praktis di kafe atau restoran, sehingga pembeli mudah memesan sesuai dengan selera dan kebutuhannya.
Tema-tema yang dihidangkan tidak lain dan tidak bukan adalah tema yang up to date dan menyentuh isu-isu yang sedang dihadapi.
Selain itu, interaksi pembaca (reader) Al-Qur’an semakin tampak relevansinya pada waktu memperlakukan isu harus dijawab dengan Al-Qur’an atau yang lebih populer disebut “Minal waqi’ ilan nash” (dari peristiwa menuju teks). Oleh karena itu, lahirlah tafsir ilmi yang menggiring teks Al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori ilmiah.
Menghidupkan Al-Qur’an tidak dapat dilakukan dengan pemikiran yang tertutup. Biasanya Al-Qur’an yang dipahami secara tertutup hanya berhenti pada medan teks, belum melihat apa makna di balik teks.
Pemahaman tekstualis merupakan pemahaman yang dangkal karena sebatas menyentuh kulitnya dan belum melihat apa di balik kulit ini.
Pada tempat lain, tidak dibenarkan menilai kesalehan seseorang sebatas melihat pakaian yang dikenakannya, seperti pakai peci putih, sorban, dan seterusnya.
Namun, kesalehan seseorang hanya dapat diukur dari motivasi atau niat yang terbenam dalam hati