Daftar Isi
Sejarah Perkembangan Hadis
Sejarah penulisan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi saw.. meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut, para ulama ahli hadis (muhaddis|in) membagi sejarah hadis dalam beberapa periode.
Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.
Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi saw.. hingga sekarang, yaitu sebagai berikut:
Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah saw.
Periode ini disebut ‘`Asr al-Wahyi wa at-Takwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (af’al), dan takrir Nabi yang berfungsi menerangkan aI-Qur’an untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi saw.. memberi ceramah, pengajian, khutbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi saw.., kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta menyebarkannya kepada orang lain.
Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa al-Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H 40 H)
Periode ini disebut ‘Asr at-Tas|abbut wa al-Iqlal min al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi saw. wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu al-Qur’an dan hadis (as-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat).
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan al-Qur’an.
Dalam praktiknya, para sahabat meriwayatkan hadis melalui dua cara, yakni:
- Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi saw. yang mereka hafal benar lafaz dari Nabi.
- Dengan maknanya saja yakni para sahabat meriwayatan maknanya karena tidak hafal lafaz asli dari Nabi saw.
Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Asr Intisyar al-Riwayah ila al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi saw. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan pengembangan hadis terdapat di Madinah, Makkah, Bashrah, Syam dan Mesir.
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Sahabat Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan Ali Ibn Abi Talib, yang kemudian dinamakan golongan Syiah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali, dan golongan Muawiyah, dan ketiga; golongan Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah saw. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Asr al-Kitabah wa al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi saw. meskipun dengan kondisi seadanya.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar al-Laits, al-Auza’i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abd. Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fikih, murid Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr as- Siddiq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fukaha Madinah yang tujuh.
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fikih dan hadis. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadis atas anjuran Abu Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadis :
- Pengumpul pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80-150 H)
- Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
- Pengumpul pertama di kota Bashrah, al-Rabi’ Ibn Shabih (w. 160 H)
- Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan at-Tsaury (w. 161 H.)
- Pengumpul pertama di Syam, al-Auza’i (w. 95 H)
- Pengumpul pertama di Wasith, Husain al-Wasithy (104-188 H)
- Pengumpul pertama diYaman, Ma’mar al-Azdy (95-153 H)
- Pengumpul pertama di Rei, Jarir ad-Dhabby (110-188 H)
- Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
- Pengumpul pertama di Mesir, al-Laits Ibn Sa’ad (w. 175 H).[13]
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:
- Al-Muwatta’, susunan Imam Malik (95 H-179 H)
- Al-Magazi wa al-Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
- Al-Jami’, susunan Abdul Razzaq As-San’any (211 H)
- Al-Musannaf, susunan Syu’bah Ibn Hajjaj (160 H)
- Al-Musannaf, susunan Sufyan ibn ‘Uyainah (198 H)
- Al-Musannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H)
- Al-Musannaf, susnan Al-Auza’i (150 H)
- Al-Musannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
- Al-Magazi an-Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
- A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
- Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
- Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi’i (204 H).
- Mukhtalif Al-Hadis|, susunan Al-Imam Syafi’i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa’id aI-Qattan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza’i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Syafi’i.
Periode Kelima: Masa Mentashihkan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwatta’ al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh aI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan Himsh.Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Sahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
- Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
- Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang daif yakni dengan men- tashihkan hadis.
Ulama hadis yang mula-mula menyaring dan membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat masyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ as-Sahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha a1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, at-Tirmidzi,dan an-Nasa’i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Sahih al- Bukhari, Sahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi,dan Sunan an- Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul al- Usul al-Khamsah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunannya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama al-Kutub al- Sittah.
Tokoh-tokoh hadis yang lahir pada masa ini adalah:
- `Ali Ibnul Madani
- Abu Hatim ar-Razi
- Muhammad Ibn Jarir at- Tabari
- Muhammad Ibn Sa’ad
- Ishaq Ibnu Rahawaih
- Ahmad
- Al-Bukhari
- Muslim
- An-Nasa’i
- Abu Dawud
- At-Tirmidzi
- Ibnu Majah
- Ibnu Qutaibah ad-Dainuri
Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan ‘Asr at-Tahzib wa at-Tartibi wa al-Istidraqi wa al-jami’.
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari Mutaakhirin. Kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
- As-Sahih, susunan Ibnu Khuzaimah
- At-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnu Hibban
- Al-Mustadrak, susunan al-Hakim
- As-Salih, susunan Abu `Awanah
- Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
- Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid al-Maqdisi.
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
- Mengumpulkan hadis al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al-Jami’ Bain As-Sahihain oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H).
- Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu As-Sihah oleh Razin Mu’awiyah, Al-Jami’ oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar- Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
- Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Masabih as-Sunnah oleh al-Imam Husain Ibn Mas’ud al-Baghawi (516 H); (2) Jami’ul Masanid wa al-Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali al-Jauzy (597 H); (3) Bakr al-Asanid, oleh al-Hafiz al-Hasan Ibn Ahmad al-Samarqandy (49I H).
- Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab Atraf.
Periode Ketujuh (656 H-Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII al-Mu’tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan ‘Ahdu As-Syarhi wa al-Jami’ wa at-Takhriji wa al-Bahs|i, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan.Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Pada periode ini disusun kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa’id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id as-Sunan Al- Kubra disusun oleh al-Busiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ al-Masanid wa as-Sunan al-Hadi li Aqwami Sunan, karangan al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ al-Jawami’ susunan al-Hafiz as-Suyuti (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis, al-Kafi as-Syafi fi Takhrij Ahadis| al-Kasysyaf oleh Ibnu Hajar al-‘`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab Atraf, di antaranya Itaf al-Maharah bi Atraf al-‘Asyrah oleh Ibnu Hajar al-‘`Asqalani, Atraf al-Musnad al-Mu’tali bi Atraf al- Musnad al-Hanbali oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Atraf yang lainnya.
Tokoh-tokoh hadis yang terkenal pada masa ini adalah: (1) Adz-Dzahaby (748 H), (2) Ibnu Sayyidinnas (734 H), (3) Ibnu Daqiq al-‘`Id, (4) Muglathai (862 H), (5) Al-Asqalany (852 H), (6) Ad¬Dimyaty (705 H), (7) Al-`Ainy (855 H), (8) As-Suyuthi (911 H), (9) Az-Zarkasy (794 H), (10) Al-Mizzy (742 H), (11) Al-`Alay (761 H), (12) Ibnu Katsir (774 H), (13) Az-Zaily (762 H), (14) Ibnu Rajab(795 H), (15) Ibnu Mulaqqin (804 H), (16) Al-Bulqiny (805 H), (` 7) Al-`Iraqy (w. 806 H), (18) Al-Hais|amy (807 H), dan (19) A’u Zurah (826 H).
Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadis
1) Pengumpulan Hadis
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah saw., Khulafa Rasyidin dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hafalannya. Hafalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khattab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari al-Qur’an.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriyah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku- buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis- hadis Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghafal.
Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu, “Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul saw., dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), ar-Rabi’ bin Sabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul saw. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain al-Muwatta oleh Imam Malik dan al-Musnad oleh Imam as-Syafi’i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal al-Kutubu as-Sittah (kitab-kitab enam), yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada al-Kutubu as-Sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
2) Penulisan Hadis
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adi bin Zaid al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Makkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Makkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
Banyak kabar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Makkah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Makkah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi al-Qur’an menganjurkan untuk belajar dan membaca. Rasulullah pun mengangkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab at-Taratib al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuh al- Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mukminin Hafsah, Ummu Kultsum binti Uqbah, as-Syifa’ binti Abdullah al-Qurasyiyah,`Aisyah binti Sa’ad, dan Karimah binti al-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa’id bin ‘As agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa’id bin al-‘As adalah al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah, dan menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa al-Qur’an telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghafalkan al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah wafat, al-Qur’an telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci al-Qur’an pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Qur’an. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah saw..
PERILAKU ORANG YANG BERPEGANG TEGUH PADA HADIS
Uraian Bab ini menunjukkan kepada kita, betapa proses yang sangat panjang dilalui untuk mengumpulkan, menuliskan dan menguji serta menyebarkan hadis-hadis Nabi Muhammad saw. kepad umat Islam dari masa ke masa. Kini kita menyadari bahwa butuh perjuangan yang keras dan panjang agar hadis-hadis itu sampai kepada kita.
Karenanya kita harus turut berperan dalam perjalanan hadis ini, setidaknya sebagai pembelajar yang serius dan tekun. Sehingga hadis-hadis Nabi tetap terjaga keotentikannya ketika kelak kita sampaikan kepada masyarakat.
Kelak ketika kita menyampaikan hadis-hadis Rasulullah kepada masyarakat, kita dapat benar-benar menghayati ajaran-ajaran yang terkandung di dalam suatu hadis dan dapat menghayati betapa ajaran itu butuh proses yang panjang ketika sampai kepada masyarakat kelak. Dan kita menjadi bagian dari sampainya ajaran-ajaran Rasulullah saw. tersebut kepada masyarakat.