Kiai Kholil al-Bangkalani

Biografi Kiai Kholil al-Bangkalani

Muhammad  Kholil  atau  biasa  dipanggil  Kiai  Kholil  Bangkalan  lahir  pada tahun 1820 dan wafat pada tahun 1925. Beliau ialah seorang ulama yang cerdas dari kota Bangkalan, Madura. Beliau telah menghafal al-Qur`an dan memahami ilmu perangkat Islam seperti nahwu dan sharaf sebelum berangkat ke Makkah.

Beliau pertama kali belajar pada ayahnya, Kiai Abdul Lathif. Lalu belajar kitab‘Awamil, Jurūmīyah, ‘Imrīthī, Sullam al-Safīnah, dan kitab-kitab lainnya kepada Kiai Qaffal, iparnya. Kemudian beliau melanjutkan belajar pada beberapa kiai di Madura yaitu Tuan Guru Dawuh atau Bujuk Dawuh dari desa Majaleh (Bangkalan), Tuan Guru Agung atau Bujuk Agung, dan beberapa lainnya sebelum berangkat ke Jawa.

Ketika berada di Jawa, beliau belajar kepada Kiai Mohammad Noer selamatiga tahun di Pesantren LUangJitIan P(TUubaBn), LKiaIiKAsyik di Pesantren Cangaan, Bangil(Pasuruan), Kiai Arif   di Pesantren Darussalam, Kebon Candi (Pasuruan) dan KiaiNoer Hasan di Pesantren Sidogiri (Pasuruan) dan Kiai Abdul Bashar di Banyuwangi.

Setelah  belajar  di  Madura  dan  Jawa,  beliau  berangkat  ke  Makkah.  Beliau belajar ilmu qira`ah sab’ah sesampainya di Makkah. Di sana beliau juga belajar kepada Imam Nawawi al-Bantany, Syaikh Umar Khathib dari Bima, Syaikh Muhammad Khotib Sambas bin Abdul Ghafur al-Jawy, dan Syaikh Ali Rahbini.

Kiai Kholil pun menikah dengan seorang putri dari Raden Ludrapati setelah kembali dari Makkah. Dan beliau akhirnya menghembuskan nafas pada tahun 1925. Selama hidup, beliau telah menuliskan beberapa kitab yaitu al-Matn asy-Syarīf, al- Silāh fī Bayān al-Nikāh, Sa’ādah ad-Dāraini fi as-Shalāti ‘Ala an-Nabiyyi ats- Tsaqolaini dan beberapa karya lainnya.

Teladan dari Kiai Kholil al-Bangkalani

a. Pantang menyerah dan senantiasa berusaha

Kiai Kholil ialah seorang yang selalu berusaha dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Hal ini terbukti saat di Jawa, Kholil tak pernah membebani orang tua atau pengasuhnya, Nyai Maryam. Beliau bekerja menjadi buruh tani ketika belajar di kota Pasuruan. Beliau juga bekerja menjadi pemanjat pohon kelapa ketika belajar di kota Banyuwangi. Dan beliau menjadi penyalin naskah kitab Alfiyah Ibn Malik untuk diperjual belikan ketika belajar di Makkah. Setengah dari hasil penjualannya diamalkan kepada guru-gurunya.

Setelah pulang dari Makkah, Kiai Kholil bekerja menjadi penjaga malam di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Beliau selalu menyempatkan membaca kitab- kitab dan mengulangi ilmu yang telah didalaminya selama belasan tahun.

Beliau pun menikahi putri seorang kerabat Adipati, Raden Ludrapati yang pernah tertarik menjadikannya menantu. Setelah itu, beliau pun berdakwah dan berhasil membangun beberapa masjid, pesantren dan kapal Sarimuna yang kelak diwariskan pada anak-cucunya. Pembangunan masjid, pesantren dan kapal tersebut memiliki pesan simbolik bahwa kegiatan dakwah harus beriringan dengan ekonomi yang baik.

b. Ketulusan dalam beramal

Ketika  ada  sepasang  suami-istri  yang  ingin  berkunjung  menemui  Kiai Kholil, tetapi mereka hanya memiliki “bentol”, ubi-ubian talas untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Akhirnya keduanya pun sepakat untuk berangkat. Setelah tiba di kediaman pak kiai,  Kiai Kholil menyambut keduanya dengan hangat. Mereka kemudian menghaturkan bawaannya dan Kiai Kholil menerima dengan wajah berseri-seri dan berkata, “Wah, kebetulan saya sangat ingin makan bentol”. Lantas Kiai Kholil meminta “kawula”, pembantu dalam bahasa jawa untuk memasaknya. Kiai Kholil pun memakan dengan lahap di hadapan suami-istri yang belum diizinkan pulang tersebut. Pasangan suami-istri itu pun senang melihat Kholil menikmati oleh-oleh sederhana yang dibawanya.

Setelah kejadian itu, sepasang suami-istri tersebut berkeinginan untuk kembali lagi dengan membawa bentol lebih banyak lagi. Tapi sesampainya di kediaman pak kiai, Kiai  Kholil tidak memperlakukan mereka seperti sebelumnya. Bahkan oleh-oleh bentol yang dibawa mereka ditolak dan diminta untuk membawanya pulang kembali. Dalam perjalanan pulang, keduanya terus berpikir tentang kejadian tersebut.

Dalam kedua kejadian ini, Kiai Kholil menyadari bahwa pasangan suami- istri berkunjung pertama kali dengan ketulusan ingin memulyakan ilmu dan ulama. Sedangkan dalam kunjungan kedua, mereka datang untuk memuaskan kiai dan ingin mendapat perhatian dan pujian dari Kiai Kholil.

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan