Pengaruh Budaya India (Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu-Buddha))

Pengaruh Budaya India

Tentu kamu pernah membaca atau bahkan datang untuk melihat kemegahan Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kedua candi ini merupakan peninggalan masa Hindu-Buddha dan berlokasi di Jawa Tengah.

Dari bentuk arsitekturnya candi itu merupakan candi Buddha. Candi yang megah itu merupakan satu di antara tujuh keajaiban dunia.  Candi Hindu itu terletak di perbatasan Kota Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Klaten, Jawa Tengah. Kedua candi yang megah itu merupakan bukti perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Dua mahakarya itu merupakan bukti-bukti pencapaian yang luar biasa pada Dinasti Syailendra. Setelah masa dinasti tersebut surut, pusat kebudayaan dan politik  kerajaan pindah ke Jawa bagian timur. Di Jawa bagian timur itu kemudian berdirilah kerajaan yang diperintah oleh keturunan Raja Mataram yang bernama Mpu Sindok.

Beberapa sumber sejarah yang berasal dari Cina menyebutkan tentang adanya hubungan perkawinan antara raja Jawa dan Bali pada masa pemerintahannya.

Sementara itu,  di Sumatra terdapat Kerajaan yang sangat terkenal, yaitu Sriwijaya. Kerajaan yang handal menjalin hubungan dengan dunia  internasional melalui jaringan perdagangan dan kemaritimannya. Dalam masa itulah para pedagang datang dari India, Cina dan Arab untuk meramaikan Sriwijaya.

Saat Sumatra berada di bawah Dinasti Syailendra, kerajaan itu dapat menguasai kerajaan-kerajaan lain di sepanjang Selat Malaka. Pada masa itu pula hubungan dengan India dan Cina berkembang pesat. Bahkan hubungan itu sangat berpengaruh dalam perkembangan budaya pada masa itu, bahkan hingga saat ini pengaruh kedua budaya itu masih dapat kita temui.

Kehebatan Sriwijaya juga ditunjukkan dengan adanya “dharma”  (sumbangan) dari Raja Sriwijaya  untuk belajar agama Buddha pada masa itu. Sumber-sumber Tibet dan Nepal menyebutkan, seorang pendeta Buddha yang bernama Atisa, belajar Agama Buddha di Sriwijaya selama 12 tahun, atas saran I-tsing, seorang musafir dari Cina yang lebih dahulu pernah singgah di Sriwijaya.

 

Jika mengunjungi Candi Prambanan atau Candi Borobudur, kamu akan melihat kisah dalam dunia wayang. Tentu kamu juga pernah mendengar tentang wayang, atau bahkan ada yang suka melihat wayang. Wayang sudah dikenal oleh nenek moyang kita sejak masa Hindu-Buddha.

Melalui wayang kisah Mahabharata dipentaskan. Kisah yang hingga saat ini masih populer adalah kisah Bharatayudha. Kisah yang menceritakan tentang perang saudara antara Kurawa dan Pandawa, tentang kebaikan yang mengalahkan kejahatan.

Cerita itu  merupakan saduran dari India. Seorang pujangga Jawa diperintahkan  oleh Jabajaya untuk menulis cerita itu dalam versi Jawa. Jayabaya adalah Raja Kediri yang kekuasaannya tidak dapat ditentang oleh kerajaan-kerajaan  lain. Raja ini pula yang dikenal karena kehebatan ramalannya.

Selain Mahabharata juga dikenal cerita tentang Ramayana. Dari kisah Ramayana itulah disebutkan adanya Jawadwipa, pulau yang kaya dengan tambang emas dan perak.

Nama Jawadwipa juga  sudah dikenal oleh  seorang ahli geografi Yunani, Ptolomeus, pada awal  tarikh  Masehi dengan nama “Labadiu”. Jadi nama Kepulauan Indonesia sudah ditulis dan dikenal oleh penulis Barat jauh pada masa awal Masehi. Ptolomeus menyebutkan bahwa Pulau Labadiu artinya Pulau Padi atau dikenal pula dengan Jawadwipa.

Satu diantara bangsa yang berinteraksi dengan penduduk kepulauan di Indonesia adalah bangsa India. Interaksi itu terjalin sejalan dengan meluasnya hubungan perdagangan antara India dan Cina.

Hubungan itu yang mendorong pedagang-pedagang India dan Cina datang ke kepulauan di Indonesia. Menurut van Leur, barang yang diperdagangkan dalam pasar internasional saat itu  adalah barang komoditas yang bernilai tinggi.

Barang-barang itu berupa logam mulia, perhiasan, berbagai barang pecah belah, serta bahan baku yang diperlukan untuk kerajinan. Dua komoditas penting yang menjadi primadona pada awal masa sejarah di Kepulauan Indonesia adalah gaharu dan kapur barus.

Kedua komoditi itu merupakan bahan baku pewangi yang paling digemari oleh bangsa India dan Cina. Interaksi dengan kedua bangsa itu membawa perubahan pada bentuk tatanegara di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia. Juga perubahan dalam susunan kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Sejak saat itu pula pengaruh-pengaruh Hindu-Buddha berkembang di Indonesia.

di Indonesia berupa prasasti-prasasti  yang ditemukan di daerah Sungai Cisedane dekat Kota Bogor saat ini. Juga di Jawa Barat dekat Kota Jakarta. Disamping itu  kita juga dapat melihat peninggalan kebudayaan Hindia itu di sepanjang pantai Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muara Kaman, Kutai.

Menurut para ahli sejarah kuno,  kerajaan-kerajaan yang  disebut  dalam  prasasti- prasasti itu  adalah kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur bersumber dari  perdagangan dengan  negara-negara di  India Selatan.

Interaksi dengan orang-orang dari negara lain itulah yang kemudian mempengaruh cara pandang para raja-raja saat itu untuk mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang para ahli dan para pendeta dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau Brahma.

Beberapa bukti menunjukkan, setelah budaya India masuk, terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan. Berdasarkan bukti-bukti  yang ditemukan, kerajaan tertua di Muarakaman, Kalimatan Timur, yaitu Kerajaan Kutai mendapat pengaruh yang kuat dari budaya India yaitu budaya yang dikembangkan oleh Bangsa Arya di  lembah Sungai Indus.

Percampuran  budaya itu kemudian melahirkan kerajaan yang bersifat Hindu di Nusantara. Baik itu yang mencakup dalam sistem religi, sistem kemasyarakatan, dan bentuk pemerintahan. Suatu hal yang sangat penting dalam pengaruh

Hindu adalah adanya konsepsi mengenai susunan negara yang amat hirarkis dengan pembagian-pembagian dan fraksi-fraksi yang digolongkan ke dalam empat atau delapan bagian besar yang bersifat sederajat dan tersusun secara simetris. Semua bagian- bagian itu diorientasikan ke atas, yaitu sang raja dianggap sebagai keturunan dewa. Raja dianggap  keramat dan puncak dari segala hal dalam negara dan pusat alam semesta.

besar dan serupa dengan zaman modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia. Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.

Sebelum kebudayaan India masuk, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih oleh anggota masyarakat. Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui tentang adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik. Ia juga dianggap sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus dapat melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.

Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya. Setelah masuknya budaya India, terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja seperti halnya di India. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan tetapi diturunkan secara turun temurun.

Raja merupakan penjelmaan dewa yang seringkali disembah oleh rakyatnya. Para Brahmana agama Hindu tidak  dibebani untuk menyebarkan agama Hindu di Indonesia. Pada dasarnya seseorang tidak dapat menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu.

Mengingat hal tersebut, maka menjadi menarik dengan adanya agama Hindu di Indonesia. Bagaimana dapat terjadi bahwa orang- orang Indonesia yang pasti pada mulanya tidak dilahirkan sebagai Hindu dapat beragama Hindu.

Demikian pula  dengan  sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan yang  dikembangkan oleh  bangsa Arya  yang berkembang di Lembah Sungai Indus adalah sistem kasta. Sistem kasta mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa- bangsa yang ditaklukkannya. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya.

Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan  kasta menjadi  dasar terbentuknya  kepercayaan terhadap Hinduisme. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna.

Awal hubungan dagang antara penduduk Kepulauan Nusantara dan India bertepatan dengan perkembangan pesat dari agama Buddha. Pendeta-pendeta Buddha menyebarkan ajarannya keseluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghitungkan  kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya.

Mereka mendaki Himalaya untuk menyebarkan ajaran Buddha di Tibet. Dari Tibet mereka melanjutkan ke arah utara hingga sampai ke Cina. Kedatangan mereka itu  biasanya disampaikan terlebih  dahulu, sehingga ketika tiba di tempat tujuan mereka dapat bertemu dengan kalangan istana.

Mereka biasanya mengajarkan agama dengan penuh ketekunan. Mereka juga membentuk sebuah sanggha dengan biksu- biksu setempat, sehingga muncul suatu ikatan   langsung dengan India, tanah suci agama Buddha.

Kedatangan para biksu dari India ke negara-negara lain itu, memunculkan keinginan para penduduk daerah setempat untuk  pergi  ke  India mempelajari agama Buddha lebih  lanjut.  Para biksu lokal  itu kemudian kembali dengan membawa kitab- kitab  suci, relik,  dan  kesan-kesan.

Bosch menyebut gejala ini dengan “arus  balik”. Pengaruh Buddha  di   Indonesia  dapat dijumpai pada beberapa temuan arkeologis. Satu bukti adalah ditemukannya arca Buddha terbuat dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan.

Menurut ciri-cirinya, arca Sempaga memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan. Arca sejenis juga  ditemukan  di  daerah Jember, Jawa Timur dan daerah Bukit Siguntang Sumatra Selatan. Di  daerah  Kota  Bangun  Kutai, Kalimantan  Timur,   juga  ditemukan  arca Buddha. Arca Buddha itu memperlihatkan ciri seni area dari India Utara.

Terdapat  berbagai pendapat  mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hindunisasi. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut:

Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara  pada umumnya.

Namun, teori Ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Selama ini belum ada ahli arkeolog yang dapat menemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya ekspansi dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada semangat petualangan para kaum ksatria.

Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan bahwa kelompok yang berperan dalam dalam  penyebaran Hindu-Buddha di  Asia Tenggara,  termasuk Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang.

Pada saat itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang menyebabkan mereka tergantung pada musim angin dan kondisi alam. Bila musim angin tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih lama untuk menunggu  musim baik.

Para pedagang India pun  melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan  kebudayaan India. Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk datang ke Asia Tenggara  adalah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan.

Ketiga, teori Brahmana. Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa Hindunisasi di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.

Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agar mereka menjadi golongan ksatria.

Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara  sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.

Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik. Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di  Indonesia. Artinya, orang-orang di  Kepulauan Indonesia terutama  para  tokohnya yang pergi ke India.

Di India mereka belajar hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha.  Setelah kembali mereka mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama itu  kepada masyarakatnya. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan pandangan F.D.K.  Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri dari kaum terpelajar yang mempunyai semangat untuk menyebarkan agama Buddha.

Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh masyarakat. Selanjutnya karena tertarik dengan ajaran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk memperdalam ajaran itu. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses Indianisasi adalah suatu pengaruh yang kuat terhadap kebudayaan lokal.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat ditarik suatu  kesimpulan bahwa  masyarakat di  Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha.

Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat diterima dengan  menyesuaikan pada  budaya masyarakat setempat pada masa itu.

Tinggalkan Balasan