Daftar Isi
Pola Hukum Adat
Orang Barat yang cenderung individualistis dan liberalistis sangat berbeda dalam memandang hukum adat yang membumi dalam pikiran orang Indonesia karena memiliki corak yang khusus. Hukum adat di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan hukum lainnya. F.D. Hollemann dalam pidato pengukuhannya De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven, menyatakan bahwa ada empat ciri atau ciri umum Hukum Adat yang merupakan satu kesatuan, sebagai berikut:
Sihir Religius (Magisch – Religius)
Ciri ini dimaknai sebagai pola pikir yang dilandasi religiositas, yaitu kepercayaan masyarakat akan adanya sesuatu yang sakral. Sebelum masyarakat adat mengenal agama, sifat religius ini terwujud dalam cara berpikir yang tidak logis, animisme, dan kepercayaan terhadap hal-hal gaib.
Menurut kepercayaan masyarakat pada masa itu, di alam semesta ini benda-benda penuh dengan jiwa (animisme), benda-benda tersebut memiliki daya gerak (dinamisme), di sekitar kehidupan manusia terdapat roh-roh yang menjaga kehidupan manusia, dan alam pun ada. . karena ada pencipta yaitu Sang Pencipta. Oleh karena itu, setiap manusia akan memutuskan, mengatur, menyelesaikan suatu pekerjaan dengan memohon restu dari Sang Pencipta Yang Maha Esa dengan harapan agar pekerjaan tersebut berjalan sesuai dengan yang diinginkan, dan jika melanggar pantangan dapat berakibat hukuman (laknat dari Tuhan yang Mahakuasa).
Sifat magis religius ini adalah kepercayaan masyarakat yang tidak mengenal pemisahan dunia lahir (fakta) dan dunia gaib. Sifat ini menuntut masyarakat untuk selalu menjaga keseimbangan antara dunia luar (dunia nyata) dan dunia batin (dunia gaib). Setelah masyarakat adat mengenal agama, sifat religius ini diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat mulai percaya bahwa setiap perilaku akan mendapat ganjaran dan hukuman dari Tuhan. Keyakinan ini terus berlanjut dalam kehidupan masyarakat modern. Sebagai gambaran, hal ini dapat dilihat dalam setiap putusan lembaga peradilan yang selalu mencantumkan klausul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Padahal klausul tersebut karena peraturan mengharuskan demikian.
Komunal (Kebersamaan)
Menurut pandangan hukum adat masing-masing individu, anggota masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dilandasi rasa kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, dan gotong royong. Masyarakat Hukum Adat berkeyakinan bahwa kepentingan setiap individu sudah sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terpisah dari masyarakat.
Beton (Visual)
Sifat konkrit artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual, artinya tampak, terlihat, terbuka, tidak tersembunyi. Artinya setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. Contoh jual beli, selalu menunjukkan perbuatan nyata, yaitu dengan mengalihkan obyek perjanjian. Berbeda dengan Hukum Barat yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dan tidak bergerak, dimana dalam suatu perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang telah beralih kepada pembeli, meskipun barang tersebut masih berada di tangan penjual.
Tunai (Tunai)
Sifat ini mengandung arti bahwa suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana yang serba konkrit, terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan prestasi selalu dibarengi dengan kontra prestasi yang segera diberikan. Prestasi dan kontra prestasi dilakukan bersamaan pada saat itu. Dalam Hukum Adat, segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah penyerahan dalam bentuk uang itu di luar akibat hukum, perbuatan hukum sudah selesai dengan segera.
Gaya Hukum Adat Bugis
Sampai saat ini masyarakat Bugis Makassar, khususnya yang tinggal di luar kota, dalam kehidupan sehari-harinya masih banyak terikat dengan sistem norma dan aturan adatnya yang sakral dan keramat yang semuanya disebut Pangadareng (Pangadakang/Makassar). Pangadareng terdiri dari 5 (lima) unsur yaitu: 1) Ade (Ade/Makassar); 2) Bicara; 3) Rapang; 4) Waris; 5) Sarah. Kelima unsur tersebut terjalin sebagai satu kesatuan organik dalam ranah pemikiran, rasa dan identitas sosial yang disebut siri.
Makna “siri” dalam masyarakat Bugis begitu signifikan sehingga ada peribahasa Bugis yang berbunyi “SIRI PARANRENG, NYAWA PA LAO”, yang artinya: “Jika harga diri sudah terkoyak, maka nyawa adalah harganya”. Begitu tinggi makna siri ini sehingga dalam masyarakat Bugis, hilangnya harga diri seseorang hanya dapat dikembalikan dengan biaya hidup oleh pihak lawan, bahkan pihak yang bersangkutan.
Siri’ Na Pacce lafdzhiyah