Daftar Isi
Sumber Aqidah
Alquran
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang mendapat petunjuk, petunjuk hidup bagi orang-orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ada kekurangan atau cela di dalam Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
Artinya : Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Anam: 115)
Al-Iman Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang segala sesuatu yang dibutuhkan manusia mengenai kewajiban dan ibadah yang dipikulnya, termasuk urusan iman. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber aqidah yang sah karena Dia mengetahui kebutuhan manusia sebagai hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika Anda perhatikan dengan seksama, Anda akan menemukan banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, wajib untuk mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al-Qur’an karena kitab yang mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Tuhan umat manusia, yang kebenarannya benar dan tidak pernah hilang ditelan zaman.
Di antara contoh yang paling nyata adalah Imam al-Bukhâri Rahimahullah memulai kitabnya al-Jâmi’ ash-Shahîh dengan kitab Bad-il Wahyi (Permulaan Wahyu). Ini pertanda dari beliau bahwa agama ini, baik dari segi aqidah (keyakinan) maupun ibadah, harus diambil dari jalan wahyu. Kemudian setelah itu dilanjutkan dengan yang kedua yaitu kitab al-Iman. Ini adalah tanda bahwa wajib mengimani apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau menyebutkan cara untuk mengetahui hal tersebut, yaitu ilmu; jadi dia menjadikannya judul buku berikutnya; setelah kitab bad-il wahyi dan kitab al-ilmi.
Begitu juga dengan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi Rahimahullah. Dia mengisyaratkan hal ini dalam bukunya yang terkenal ‘al-Aqîdah ath-Thahâwiyyah. Beliau bersabda, “Kita tidak boleh masuk ke dalam masalah ini (dalam hal ini beliau menyatakan bahwa melihat Allah Azza wa Jalla bagi penghuni surga adalah benar) dengan menafsirkannya menggunakan logika kita; maupun dengan meramu maknanya dengan nafsu kita. Karena tidak ada yang aman dalam agamanya, kecuali orang yang berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya; serta mengembalikan hal-hal yang tidak jelas kepada mereka yang mengetahuinya. Dan tidak akan kokoh pijakan Islam seseorang kecuali atas dasar taslîm (penyerahan) dan istislâm (penyerahan).”
As-Sunnah
Seperti halnya Al-Qur’an, As-Sunnah adalah jenis wahyu yang datang dari Allah SWT meskipun lafalnya bukan dari Allah tetapi maknanya berasal dari-Nya. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah Surah An-Najm Ayat 3 dan 4:
Artinya : Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu,
ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan An-Naim;3dan 4
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya :
Tulislah, Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah kesimpangsiuran yang terjadi dikalangan ummat karena banyaknya hadis doif yang dianggap kuat begitu pula sebaliknya, hadis shahih terkadang diabaikan, tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah SAW disinggung. untuk dia. Hal ini tidak lepas dari upaya-upaya penyelewengan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mendapatkan sedikit keuntungan. Namun, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As-Sunnah sampai akhir zaman melalui para ulama. Allah menjaga kemurnian As-Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih menjaga dan membela sunnah Rasulullah SAW dari upaya-upaya penyimpangan. Hal ini terlihat dari para ulama generasi sahabat hingga ulama masa kini yang menjaga sunnah dengan cara menghafal dan mengumpulkannya serta berhati-hati dalam mewariskannya. Ulama ini disebut sebagai ulama Ahlusunnah. Oleh karena itu, perlu kiranya kita menuntut dan mempelajari ilmu dari mereka agar tidak terseret ke dalam jurang penyimpangan. Selain menjaga As-Sunnah, Allah menjadikan As-Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan As-Sunnah dalam menentukan syariat termasuk masalah akidah, banyak ditekankan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk firman Allah dalam Surat Al-Hashr Ayat 7:
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah .
Dan firman-Nya :
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya
Firman Allah SWT menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga mengambil sumber hukum akidah dari As-Sunnah dengan pemahaman para ulama. Ibnul Qayyim juga pernah mengatakan “Allah memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya SAW”. Dengan mengulang kata kerja (taat) yang menunjukkan bahwa menaati Rasul itu wajib secara mandiri tanpa harus mengecek terlebih dahulu dengan Al-Qur’an, jika ia memerintahkan sesuatu. Hal ini karena tidak akan pernah ada pertentangan antara Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Ijma’ para Ulama
Ijma’ adalah sumber akidah yang bersumber dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad SAW setelah beliau wafat, mengenai urusan suatu masa. Mereka bukan orang-orang yang hanya tahu tentang ilmu pengetahuan tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmunya. Berkaitan dengan Ijma’, Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa Ayat 115:
Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka kami akan biarkan ia leluasa berbuat yang ia lakukan dan kami masukkan ia ke dalam Neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
Imam Syafi’i menyatakan bahwa ayat ini merupakan dalil kebolehan Ijma’, yang diambil dari frase “jalan orang beriman” yang berarti Ijma’. Ditambahkannya pula bahwa dalil ini merupakan dalil syar’i yang harus diikuti karena Allah menyebutkannya bersamaan dengan larangan untuk berbeda pendapat dari Rasulullah. Dalam Ijma’ juga terdapat beberapa aturan penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah iman harus bersandar pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih karena masalah iman adalah masalah tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu. Sedangkan fungsi Ijma’ adalah untuk menguatkan Al-Qur’an dan Sunnah Rausl serta menolak kemungkinan kesalahan dalil-dalil yang bersifat dzoni sehingga menjadi qotha’I.
Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga merupakan sumber hukum dalam Islam. Ini bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi akal dan memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk mengagungkan akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk akal agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Islam tidak membenarkan peninggian akal dan juga tidak membenarkan penyalahgunaan kemampuan akal manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kelompok yang menyimpang (firqon). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanya ilmu dan amal menjadi sempurna.
Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Dalam jiwa berfungsi sebagai sumber kekuatan, adil seperti kekuatan penglihatan pada mata, jika mendapat cahaya iman dan Al-Qur’an seperti mendapatkan cahaya matahari dan api, namun jika berdiri sendiri tidak akan dapat melihat (hakekatnya). dari) sesuatu dan jika dihilangkan sama sekali akan menjadi sesuatu yang kebinatangan.Keberadaan akal memiliki keterbatasan pada apa yang dapat dicernanya tentang hal-hal nyata yang memungkinkan panca indera untuk melihatnya.
Apa pun masalah gaib tidak dapat disentuh oleh panca indera, jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya tertutup.Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui akal kecuali mendapat cahaya dan wahyu baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang shahih. Al-Qur’ an dan As-Sunnah menjelaskan kepada nalar bagaimana memahaminya dan mengerjakan soal. Salah satu contohnya adalah bahwa pikiran mungkin tidak dapat menerima Surga dan Neraka karena tidak dapat diketahui melalui indera. Namun melalui penjelasan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan diketahui bahwa setiap manusia pasti mengimaninya.